Agama
pada mulanya berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap
keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, agama bergeser menjadi semacam kata benda, ia
mulai menjadi himpunan doktrin, ajaran-ajaran ketuhanan dan hukum-hukum baku
yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.
Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Salah satu dari penelitian itu adalah
telaah konstruksi teori penelitian hubungan antar umat beragama yang
terpecahbelah. Sebagai generasi muda, melihat kenyataan yang ada dari hubungan
antar umat beragama yang tidak harmonis, itu merupakan sebuah kegelisahan
berkepanjangan bagi pribadi individu yang berjiwa universal.
Peranan
generasi muda sebagai ujung tombak suatu bangsa atau negara sangatlah penting.
Melihat kenyataan di dunia yang memiliki dua agama mayoritas yaitu Islam dan Kristen,
setidaknya sebagai kaum muda kita bisa menjadi jembatan untuk menjawab atau
menghapus kegelisahan yang tak berujung jika antar agama saling mengklaim atau
mendoktrin bahwa ajaran agama mereka adalah paling benar dan yang lain adalah
salah.
Jika
pada zaman orde baru Indonesia tokoh-tokoh agama dipertemukan menjadi satu
dalam satu dialog yang terstruktur dan mereka saling berdamai dalam hal politik
dan perdamaian wilayah. Dengan runtuhnya zaman orde baru itu, runtuh pula
hubungan dialog terstruktur tersebut karena kekacauan politiknya. Di zaman
sekarang yang serba kontemporer, setidaknya sistem dialog struktural tersebut
kita ganti dengan dialog kultural. Mengapa diganti dengan dialog kultural?
Pertama,
sebagai kaum muda yang tak menginginkan kehancuran, kerusakan, dan ketidak
harmonisan bangsanya karena sebab terpecahbelahnya hubungan antar umat beragama
yang mendoktrin ajarannya yang paling benar. Setidaknya dengan dialog kultur
kita bisa menggali nilai-nilai kebaikan universal yang ada dalam tradisi
masing-masing agama tanpa segan-segan mengkaji ulang teks-teks keagamaan untuk
mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang konsepsi dan hubungan antaragama.
Kedua, tidak dipungkiri, bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki misi suci,
yaitu mengajak manusia untuk mencapai derajat yang tinggi dalam arti spiritual
dengan kesadaran transendental. Di sisi lain, agama-agama juga dengan gamblang
menunjukkan kepeduliannya terhadap pentingnya kebersamaan, keharmonisan,
kedamaian, dan lain sebagainya dalam menempuh kehidupan dengan upaya
menghindari hal-hal yang bersifat primordial.
Peranan
kita sebagai kaum muda yang tak menginginkan perpecahan antar umat beragama
tentunya juga akan membangun sikap toleransi, keramahan, dialog dan kerjasama
antar umat beragama. Di sini kita perlu rumah kultur untuk membangun itu semua.
Kalau dialog kultur adalah cara kita mengangkat nilai-nilai universal yang ada
dalam tradisi masing-masing agama. Rumah kultur adalah bangunan satu atap untuk
menyamakan konsepsi, persepsi, dan pemahaman agar tak terjadi miskonsepsi dan
mis-mis yang lainnya. Bukan berarti kita akan mencampur adukkan agama atau kita
sedang dalam rangka singkretisme-nya, hal itu dimaksudkan untuk memperdalam
keagamaan dan spiritual dengan berbagi pengalaman spiritual agama lain.
Dibutuhkan keterbukaan yang bersifat umum dan bersifat privasi dalam kontruksi
rumah kultur tersebut.
Perlu
diketahui, tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi kenyatannya bahwa agama
dan ajarannya amat beragam dalam hal menjaga keharmonisan. Pandangan seseorang
terhadap agama ditentukan oleh pemecahannya terhadap ajaran agama itu sendiri.
Dan ini berarti bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama.
Jadilah
generasi muda yang pertama di setiap hari yang berbeda dalam melaksanakan rukun
perdamaian umat beragama. Kita adalah generasi muda beragama yang berbatas dan
tak berbatas untuk kedamaian antar umat beragama. Hidup hanya satu kali,
hiduplah yang berarti.
No comments:
Post a Comment