Saturday, 13 April 2013

Generasi Muda Dalam Hubungan Lintas Agama



Agama pada mulanya berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, agama bergeser menjadi semacam kata benda, ia mulai menjadi himpunan doktrin, ajaran-ajaran ketuhanan dan hukum-hukum baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.


Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Salah satu dari penelitian itu adalah telaah konstruksi teori penelitian hubungan antar umat beragama yang terpecahbelah. Sebagai generasi muda, melihat kenyataan yang ada dari hubungan antar umat beragama yang tidak harmonis, itu merupakan sebuah kegelisahan berkepanjangan bagi pribadi individu yang berjiwa universal.

Peranan generasi muda sebagai ujung tombak suatu bangsa atau negara sangatlah penting. Melihat kenyataan di dunia yang memiliki dua agama mayoritas yaitu Islam dan Kristen, setidaknya sebagai kaum muda kita bisa menjadi jembatan untuk menjawab atau menghapus kegelisahan yang tak berujung jika antar agama saling mengklaim atau mendoktrin bahwa ajaran agama mereka adalah paling benar dan yang lain adalah salah.

Jika pada zaman orde baru Indonesia tokoh-tokoh agama dipertemukan menjadi satu dalam satu dialog yang terstruktur dan mereka saling berdamai dalam hal politik dan perdamaian wilayah. Dengan runtuhnya zaman orde baru itu, runtuh pula hubungan dialog terstruktur tersebut karena kekacauan politiknya. Di zaman sekarang yang serba kontemporer, setidaknya sistem dialog struktural tersebut kita ganti dengan dialog kultural. Mengapa diganti dengan dialog kultural?

Pertama, sebagai kaum muda yang tak menginginkan kehancuran, kerusakan, dan ketidak harmonisan bangsanya karena sebab terpecahbelahnya hubungan antar umat beragama yang mendoktrin ajarannya yang paling benar. Setidaknya dengan dialog kultur kita bisa menggali nilai-nilai kebaikan universal yang ada dalam tradisi masing-masing agama tanpa segan-segan mengkaji ulang teks-teks keagamaan untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang konsepsi dan hubungan antaragama. Kedua, tidak dipungkiri, bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki misi suci, yaitu mengajak manusia untuk mencapai derajat yang tinggi dalam arti spiritual dengan kesadaran transendental. Di sisi lain, agama-agama juga dengan gamblang menunjukkan kepeduliannya terhadap pentingnya kebersamaan, keharmonisan, kedamaian, dan lain sebagainya dalam menempuh kehidupan dengan upaya menghindari hal-hal yang bersifat primordial.

Peranan kita sebagai kaum muda yang tak menginginkan perpecahan antar umat beragama tentunya juga akan membangun sikap toleransi, keramahan, dialog dan kerjasama antar umat beragama. Di sini kita perlu rumah kultur untuk membangun itu semua. Kalau dialog kultur adalah cara kita mengangkat nilai-nilai universal yang ada dalam tradisi masing-masing agama. Rumah kultur adalah bangunan satu atap untuk menyamakan konsepsi, persepsi, dan pemahaman agar tak terjadi miskonsepsi dan mis-mis yang lainnya. Bukan berarti kita akan mencampur adukkan agama atau kita sedang dalam rangka singkretisme-nya, hal itu dimaksudkan untuk memperdalam keagamaan dan spiritual dengan berbagi pengalaman spiritual agama lain. Dibutuhkan keterbukaan yang bersifat umum dan bersifat privasi dalam kontruksi rumah kultur tersebut.

Perlu diketahui, tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi kenyatannya bahwa agama dan ajarannya amat beragam dalam hal menjaga keharmonisan. Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemecahannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Dan ini berarti bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama.

Jadilah generasi muda yang pertama di setiap hari yang berbeda dalam melaksanakan rukun perdamaian umat beragama. Kita adalah generasi muda beragama yang berbatas dan tak berbatas untuk kedamaian antar umat beragama. Hidup hanya satu kali, hiduplah yang berarti.

No comments:

Post a Comment