Baru
saja malam menepi menanti sang mentari, menanti kehangatan datang memberi
pancaran cahaya kehidupan. Tapi, tuhan tak berpihak pada sang malam. Pagi yang
cerah dinanti malam, tersatir awan mendung hitam karena langit baru saja
menangis, kabut pagi pun menari di sela-sela intipan matahari yang bersinar
sedikit malu-malu. Embun pagi dan bekas tetesan hujan masih melekat pada
daun-daun hijau yang tampak basah.
Di pojok sana baru saja daun talas meneteskan
air di atas kolam, membuat gelombang yang terus membesar dari sebuah titik
kecil. Nyanyian burung terdengar merdu pagi ini, walau sedikit sedih tapi tetap
terdengar merdu di antara kabut-kabut putih.
Di
tengah teras sebuah gubuk yang berada di seberang langgar kecil, terduduk
seorang pria di atas kursi. Matanya menatap ke arah jendela rumah berkorden
biru yang menyimpan jutaan kenangan. Dalam hatinya selalu berharap akan ada
orang yang membukanya tapi itu tak pernah terbuka. Tujuh tahun sudah hari-hari
ia jalani dengan sendiri, setiap pagi menanti mentari sambil menatap jendela
berkorden biru di seberang.
“Huffft……”,
desahnya perlahan sambil mengeluarkan kepulan asap rokok. Ditemani secangkir
kopi.
“Mengapa
jendela itu masih tertutup ? Tak seorangpun yang membuka untuk menepis semua
kerinduanku. Sampai kapan aku kan menunggu itu terbuka ?... huft….”, disruputnya
kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap panas di atas meja.
Di
pagi dengan dinginnya terlintas bayangan indah saat dirinya melihat jendela
biru seberang. Berawal dari sebuah tatapan mata dari arah jendela, wajah pualam
dengan kerudung cokelat menyikap korden membersihkan jendela. Ia tersenyum
sendiri saat teringat kejadian itu, di ambilnya buku dan pena yang ada di samping,
sembari mengingat kejadian silam ia pun menulis.
“Dengan tulisan jelek selama 7 tahun lebih aku telah tuliskan
ribuan lebih kata-kata indah, melahirkan sajak-sajak cinta yang tak dapat
dipahami, kecuali oleh orang-orang yang mempunyai ilmu seni cinta. Mungkin
nanti, entah esok atau kapan, tulisan jelekku mungkin akan menjadi pembungkus
nasi bahkan tempe atau menjadi sampah yang akhirnya dibuang.
Tak sempat aku tundukkan pandangan saat aku tatap wajahmu dari
ujung gubukku. Aku lempar senyum dan kau membalas, hanya mata yang berbicara
saat aku melihatmu diam-diam, mulut tak mampu mengungkap makna yang terpendam
dalam hati yang terdalam.
Hati kecilku mengatakan,
“percuma kebal senjata bila hanya karena cinta aku tak berdaya”. Aku tak butuh
hiburan, aku tak butuh penyemangat, aku tak butuh mental, yang ku butuhkan
adalah prisai hati agar aku tak mempan disakiti.
Andai saja waktu itu ku tundukkan pandangan ku, mungkin aku takkan
terjatuh dalam perangkap cinta. Semua ini adalah kecelakaan dan bukan kesengajaan.
Aku terluka parah karena cinta, sedangkan obat penawar lukaku adalah dirimu,
tapi sampai saat ini aku hanya mampu diam dan bisu untuk mengobati luka ku
dengan mengungkapkan perasaan cinta itu.
Tujuh tahun telah berlalu, aku sepi tanpamu. Aku sangat sadar bahwa
terlalu tinggi dan terlalu jauh bagiku tuk berfikir bisa melewati hari-hariku
bersamamu, apalagi memilikimu dan membahagiakanmu. Aku merasa, di hadapanmu aku
hanyalah rumput kering yang tak berguna dan hanya akan mengotori taman
kehidupanmu.
Maafkan aku yang telah menjadi pungguk merindukan bulan bagimu, aku
hanya ingin kau tahu akan perasaanku ini. Aku tak begitu berharap kau akan
menyambut cintaku, karena ku takut aku kan menjadi hijab yang menyatir
kenikmatan beribadah dan membuat ke-alphaan dalam indah masa-masa beribadahmu
pada-Nya.”
“Huft….., sampai kapan aku kan menulis seperti ini, jemariku sudah
cape’ sekali menulis jutaan kata-kata cinta untukmu. Jendela itu tak pernah
terbuka lagi olehmu, dimana gerangan dirimu?”
Di serutnya kopi yang sudah tampak mendingin di atas meja, di
sulutnya rokok yang telah mati, kembali ia terlarut dalam pandangan menatap
jendela seberang.
“Pagi yang selalu saja terulang.”, desahnya perlahan.
Diraihnya kembali buku dan pena yang tergeletak di atas meja, ia melanjutkan
tulisan di atas buku yang telah kusam mencokelat.
“Tujuh tahun telah berlalu, hari-hari ku lalui dengan menatap
jendelamu. Perasaan baru kemarin aku melihatmu di jendela membersihkan kaca dan
tersenyum teduh, perasaan baru kemarin aku merasakan hangat bahagia melihat
senyummu.
Pagi ini bersama laju roda berputar, di temani kabut pagi dan
sedikit cahaya matahari yang tampak malu di balik awan, butiran huruf kembali
tertulis bersama ukiran kenangan dan langkah waktu berjalan. Tak pernah aku paham akan keberadaanmu, kau selalu hadir dalam
fikirku tanpa ku sadari kau telah menjadi bagian dalam anganku, berjuta-juta
kata syair tertuang dalam catatan yang telah kusam ini, lembar demi lembar
terukir kisah tentang mu. Di balik semua ini hanya satu harapku. Pada-Nya ku
memohon kau kembali membuka jendela itu.”
Ditutupnya buku kusam itu dengan desahan panjang. Kembali ia
menatap jendela biru seberang bersama hisapan rokok dan secangkir kopi yang
sudah dingin.
Hampir sempurna matahari menyapa bumi, langit kembali menangis
menemani paginya. Dawai kicauan burung tergantikan dengan rintik hujan, kabut
hilang berganti deru angin tenang. Di pojok sana daun talas menahan guyuran
hujan, rintik-rintik hujan menghiasi kolam dengan gelombang-gelombang beruntun.
“Hahaha… matahari yang telah hilang…akankah kau kembali
menyinari hari-hariku?”, tawanya sambil bermain hujan dengan tangan di depan
teras gubuk.
“Tin…tin….”, suara klakson mobil kijang berhenti di depan
rumah seberang, dilihatnya wanita berpayung dengan ibunya keluar dari mobil.
Ms. D.
Al-asy’, 220611
cinta itu tak bisa didefinisikan,,,,
ReplyDeleteblog yang bgus mas damar...
hehehe makasih nenk apresiasinya...
ReplyDelete