Aku Sejuta Pertanyaan
Sejauh mata memandang, hamparan pasir putih
berbuih menyapa mata dengan pesona silau beriring suara deburan ombak kejar
mengejar menuju karang. Kicauan unggas laut terdengar samar tertelan nyanyian
pantai dengan anginnya yang terasa keras menyambar kulit. Entah rasa apa yang
menyapa hati sehingga menginginkan kaki melangkah mendekati tempat ini.
Lambaian daun kelapa di ujung kiri menari
indah dengan pesona gembira menggerakkan setiap jari dari pelepahnya.
Kepiting-kepiting kecil berlari keluar dari lobang mengejar panganan yang
tersisa di antara buih-buih ombak di atas pasir, entah seperti apa makanan itu
aku tak tahu, karena aku bukanlah seekor kepiting yang berlari miring.
Hendak dimulai dari mana kisah ini aku masih
berfikir, sembari menatap biru garis cakrawala di tengah samudra dengan sejuta
angan yang ada dalam benak dan fikiran.
“Ada apa di balik tanda kekuasan tuhan?”,
Tanya ku dalam hati. “jikalau itu merupakan tanda supaya aku beribadah dan
tunduk bersyukur pada-Nya, semua telah aku lakukan dengan sepenuh hati yang
amat sangat mendalam, tapi pertanyaannya adalah apakah aku sudah termasuk kriteria
yang di harapkan-Nya? Tanpa ku beribadah dan taat pada-Nya, Dia tidaklah rugi
atau kurang. Ibadah ku jua pun tak membuat-Nya tambah.”, hatiku berdebat dengan
fikirku yang melayang jauh ke sana.
Memang sulit menerka semua itu dengan apa yang
terjadi pada hati kecil ini lewat semua fikiran-fikiran yang menurut ku bodoh
seperti yang ku rasa. Sering ku tanyakan itu pada kawan yang tampak lebih dalam
berfikir. Jawab mereka tak mengobati rasa bodoh itu dari diriku, aku jadi
semakin bodoh dengan jawaban yang terlontarkan, karena aku selalu melahirkan
pertanyaan selanjutnya.
“Sebagai hamba, kita harus biasa khusnudzon
pada-Nya, ada rahasia di balik semua itu.”, jawab salah seorang kawan dari
negeri jauh di sana.
“Mengapa harus ada rahasia? Apakah karena kita
hanya dituntut untuk mencari dan mengambil rahasia itu untuk diamalkan? Apakah
hanya untuk di imankan? Apakah hanya sekedar seperti itu?”, tanyaku padanya.
“Astaghfirullah…. Istighfar Lib….
istighfar…. Kamu sudah terlalu jauh dengan semua pertanyaanmu tadi. Sudahlah
aku tak bisa menjawab.”, lantas kawan ku ini pergi meninggalkan ku yang
terlarut dengan tanda tanya.
Kembali aku hadir ke alam jauh sana di
seberang samudra lautan khayalan. Tak tampak perubahan yang berarti setelah aku
duduk termangu dengan sejuta tanda tanya.
“Aku masih harus mencari jawaban yang berarti
untuk perubahan.”, mantab ku dalam hati. “Tapi dimana jawaban itu?”, tanda
tanya kembali yang hadir.
{<<<[]>>>}
Indah larik pelangi menyapa ku seusai hujan
membuka hari, samar dirajut mega dengan keindahan nyata dari setiap manik-manik
ciptaan Tuhan. Saat ini aku terduduk dalam keterasingan masih mencari jawaban
dari semua pertanyaan yang menjejal di hati.
Di tengah ramainya lalu lalang lintas jalan di
halte berwarna biru aku termangu melihat kenyataan yang ada.
“Mengapa pula orang-orang itu bersibuk di pagi
hari melakukan pekerjaan?”, tanyaku dalam hati. “bukankah mereka telah dijamin
rezekinya oleh Tuhan? Aku tahu rezeki itu harus dicari dan tak mungkin datang
sendiri, tapi apakah harus dengan bekerja? Apakah harus menjadi seorang pegawai
negri seperti mereka agar dapat bertahan hidup? Apakah harus dengan menjadi
seorang pengemis? Apakah harus dengan cara mencopet, maling, merampok? Apakah
harus dengan cara menindas?”, gelisah aku mencoba mencari jawaban di dinginnya
pagi berlatar merahnya langit timur.
Langit masih menjatuhkan air matanya seperti
kabut lembut yang menghias setiap panorama pemandangan. Sisi ruang batinku
hampa rindukan pagi, tapi tak seperti ini. Mengapa harus ada pertanyaan jikalau
jawaban akan memahamkan? Mengapa pula harus ada jawaban jikalau semua terasa
menyakitkan?
Aku tersenyum sendiri memikirkan itu, teringat
sebuah lagu “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mungkin itu
kan membuat tanda tanya lagi padaku dan melahirkan sejuta khayalan, “andai
rumput dapat berbicara”, hahaha. Tiada yang mampu mengungkapkan, sungguh
berat beban kepedihan, hanya Tuhan yang menjadi jawaban akan damai serta
ketenangan.
Mentari mulai tampak sombong di ujung tombak
dengan senyum sumringah menyingkirkan tangisan langit beserta kabut yang
menghias kerinduan akan ketenangan. Mulai terasa bosan aku di sini dengan
pertanyaan konyol yang hadir dari memandang orang-orang yang hilir mudik itu.
Sudah saatnya aku pergi.
“Selamat tinggal halte biru yang terdiam.”,
sapa ku tersenyum dan meninggalkan pertanyaan untuknya.
Dan ku ajak setiap hati
Dikala sedih melanda bangkit dari duka
Ingat senyummu ku terbasuh
Di tengah hidup berkelut mengharap berteduh
Satu persatu ku susun kepingan asa ku
Yang terjatuh*
{<<<[]>>>}
Senja menyapa malu di balik langit yang beranjak kelam, melahirkan sorot merah
di ufuk barat, dengan suara jangkrik merintih menangis kesepian. Temaram lampu
jalanan menerangi redup pejalan kaki dan pengendara dengan tangisan hujan yang
kembali hadir setelah pagi disapanya dengan hal yang sama.
Bangau-bangau sawah terbang di atas langit
senja berjejer putih berjumlah tujuh berarak kembali pulang. “Dimana rumahnya?”
Tiba-tiba saja pertanyaan itu hadir dalam benakku. “Akan kemana unggas malam
ini kan melangkah terbang jikalau gelap semakin merangkak?”, Aku menggeleng
pelan sembari tersenyum kecut.
Suara adzan di surau-surau memanggil para
hamba untuk tertunduk menghadap pada Sang Penciptanya. Dengan langkah gontai
para petani tua berjalan menuju tempat panggilan adzan. Pakaian lusuh sedikit
berbatik tanah berpegangkan payung menyincing sarung berjalan di atas
lumpur dan air yang tergenang demi wujud kesetiaan cinta pada Yang Kuasa. Hanya
untuk menyatakan, “sesungguhnya sholatku, segala ibadahku, segala pekerjaanku,
hidup matiku, hanya untuk-Mu Tuhan ku.”
“Cinta…. Kesetiaan…. Kepercayaan….
Penghambaan…. Mungkin itu yang di harapkan.”, dengan tiba-tiba saja penjelasan
itu hadir dari hatiku.
Malam sudah berjalan menutup sempurna senja,
dan aku masih termangu menatap kelam dengan dendang pujian dari suara-surau,
terdengar tua dan kuno tetapi menyimpan makna dalam bagi yang beriman.
Bintang malam kemanakah ia gerangan?
Tak sedikitpun ia meninggalkan jejak juga bayang…
Siang atau
malam
Adakah rindu ini harus ku genggam,
Hingga esok hari ku jelang…?
Dalam gundah…
Ku masih menyimpan sejuta pertanyaan
Adakah rindu ini harus ku genggam,
Hingga esok hari ku jelang…?
Dalam gundah…
Ku masih menyimpan sejuta pertanyaan
X’beber,
22-11-2011
{<<<[]>>>}
‘Afsyah
Fransas, November 11
No comments:
Post a Comment