Hai
perkenalkan namaku, orang-orang memanggilku Ipunk. Entah dari mana asal
panggilan itu aku sedang berusaha mengingatnya. Oh iya, bagaimana kabar kalian?
Kabar kota kalian? Kabar pemerintahannya? Kalau di sini semua aman terkendali dengan
diangkatnya para preman menjadi kepala desa atau lurah atau ketua RT. Semoga
kalian sehat selalu di manapun kalian berada.
Sebelum
aku benar-benar ingin bercerita bagaimana julukan Ipunk itu melekat padaku, aku
ingin memperkenalkan sahabat-sahabatku yang mungkin kalian memang harus
mengenalnya.
Di
pojok kamar sana, dia yang sedang membaca buku di antara tumpukkan buku-buku tebal
itu namanya Andri. Dia dijuluki sebagai kutu buku, entah bagaimana dia bisa
dijuluki kutu buku itu hanya ulah teman-teman kamar yang melihat jari tangannya
berjumlah dua belas. Nggak nyambung banget kan sama istilah kutu buku yang
sebenarnya?
Nah,
yang di depan kamar itu yang sedang duduk menikmati rokok dan kopi namanya
Dani. Tiap waktunya habis digunakan untuk duduk merokok sambil menikmati kopi,
alasannya sih sederhana ketika ditanya mengapa dia selalu duduk merokok di
depan kamar.
“Saya
itu ingin menolong Indonesia dari bahaya pabrik rokok. Kalau saya membakar
pabriknya secara langsung, itu suatu tindakkan kriminal yang jelas berat
hukumannya. Makanya saya bakar satu-persatu biar cepat habis itu rokok.”,
jawabnya kalau ditanya mengapa dia selalu merokok. Sebenarnya itu bukan jawaban
yang relevan sih. Itu hanya sebuah alasan supaya dia dianggap sebagai pahlawan
tanpa arah tujuan.
Yang
sedang duduk menghadap laptop itu namanya Rawan. Ngeri banget kan namanya
Rawan, sangat cocok dengan raut wajahnya yang benar-benar rawan tertutup
jenggot dan kumis. Umurnya baru dua puluh tahun, tapi kalau kalian melihat
dengan teliti lagi, kalian pasti mengira dia berumur empat puluhan tahun ke
atas. Yah, begitulah dia yang sangat terinspirasi sama perjuangan Osama bin
Laden. Eit, jangan kira dia mengikuti aliran terorisme ya? Dia adalah seorang
pejuang mahasiswa yang tergila-gila dengan cara kabur dan menghilangnya Osama
ketika di-uber-uber oleh Amerika.
Hanya itu yang ia suka dari Osama. Selebihnya nggak ikut-ikutan deh.
Oh
iya, kamar kami dihuni delapan orang lho, tapi yang menetap tinggal orang empat
saja. Mengapa tinggal orang empat? Ceritanya panjang, takutnya ini akan berubah
menjadi cerita yang berdarah-darah lagi mengucurkan air mata.
Di
kamar kami ada perpustakaan pribadi lho. Kalo kalian lihat tadi waktu Andi baca
buku, itu dia meja atau rak perpustakaan kami. Keren kan? Hehehe. Di kamar kami
juga ada rental komputer, kita di sini membuka rental pengetikkan berupa surat
atau makalah atau tugas ketik mengetik lainnya. Kalau kalian lihat Rawan
menghadap laptop, nah itu dia karyawan rental kami. Dia sedang mengetik tugas
revisi skripsi dari kamar sebelah, hasilnya lumayan bisa buat makan sehari
untuk empat orang kalau akhir bulan mulai mendekat.
Terbebas
dari itu semua, di kamar kami juga menyediakan cassino perjudian lho. Itu kartu
remi yang ada di antara lemari adalah bukti bahwa kamar kami menjadi ajang
perjudian. Sebenarnya bukan judi dalam arti yang sebenarnya sih. Kami bermain
kartu hanya sebagai ajang untuk mengambil galon ketika habis airnya. Yah,
sepeti biasa, yang kalah harus siap mengisi galon dengan air keran yang ada di
samping masjid. Permainan ini pun hanya berlangsung ketika galon mulai hampir
habis airnya. Setelah galon terisi penuh, kartu remi pun akan termuseumkan di
antara sela lemari.
Kamar
kami juga mempunyai tetangga lho, orangnya super duper mencangkem kalo di bahasa kami. Ya begitulah, ada apa-apa dikit dia
menyebarkan tuh omongan yang nggak sesuai fakta. Berkata tanpa berfikir, itulah
dia tetangga kami yang bernama Om. Sebenarnya nggak terlalu penting sih
menerangkan si tetangga, apa lagi dalam ajaran agama kami itu dilarang yang
namanya menggelendengi atau
menjelekkan tetangga. Sengaja ku sebutkan biar lengkap kehidupan kami sebagai
orang yang hidup bersosial dan bermasyarakat.
Ini
juga perlu diterangkan. Kamar kami berada di lantai dua, di depan kamar kami
ada tangga yang berjumlah sepuluh undak-undakan,
cara bahasa Jawa-nya begitu, tetapi bahasa kami sudah jarang digunakan
karena pengaruh budaya Korea yang masuk ke negara ini lewat film-film dramanya
yang lebe gitu. Yang anehnya, kok
bisa ya orang-orang Jawa khususnya pemuda pemudinya termakan budaya itu?
Seharusnya mereka itu bisa menunjukkan kalo budaya Jawa itu lebih baik dan
indah dari budaya Korea itu. Ini lho Jawa! IKI LHO JOWO!
Dari
undak-undakkan sampai membahas
budaya? Maafkan kami teman, mungkin jiwa ini sedang emosi dengan tingkah laku
dan fakta yang terjadi di depan mata kami, but
no problem. Seharusnya kita bisa mencontoh cara mereka menyebarkan budaya
lewat media-media, jangan kita yang menjadi korban budaya mereka sehingga
budaya kita tersingkirkan oleh kita sendiri yang mengkonsumsi budaya luar. Lalu
apa fungsinya Panca Sila sebagai filter budaya-budaya? Lho kok timbul pertanyaa
itu ya? Jawab di hati kalian masing-masing juga boleh kok.
Hampir
saja lupa. Perkenalkan namaku Sonep, teman-teman memanggilku Ipunk. Awal mula
kejadian nama Ipunk lahir adalah ketika dua tahun lalu aku suka bermain
ketipung. Nggak nyambung bangetkan sama panggilan penaku? Yang terpenting
adalah kalian sudah mengetahui sejarah nama penaku lahir dan melekat sampai
sekarang.
Mungkin
suatu saat kalian akan bertanya tentang keadaan kamar kami selanjutnya.
MD
Frans,
02012013
kereeeeeeeeeeeeeennn...pelajaran yang sangat luar biasa dari cerpen panjenengan...
ReplyDeleteterimakasih. ^_^ hehehehe
ReplyDelete