Sunday, 20 January 2013

Cerpen : "Perkenalkan Namaku"




Hai perkenalkan namaku, orang-orang memanggilku Ipunk. Entah dari mana asal panggilan itu aku sedang berusaha mengingatnya. Oh iya, bagaimana kabar kalian? Kabar kota kalian? Kabar pemerintahannya? Kalau di sini semua aman terkendali dengan diangkatnya para preman menjadi kepala desa atau lurah atau ketua RT. Semoga kalian sehat selalu di manapun kalian berada.
Sebelum aku benar-benar ingin bercerita bagaimana julukan Ipunk itu melekat padaku, aku ingin memperkenalkan sahabat-sahabatku yang mungkin kalian memang harus mengenalnya.
Di pojok kamar sana, dia yang sedang membaca buku di antara tumpukkan buku-buku tebal itu namanya Andri. Dia dijuluki sebagai kutu buku, entah bagaimana dia bisa dijuluki kutu buku itu hanya ulah teman-teman kamar yang melihat jari tangannya berjumlah dua belas. Nggak nyambung banget kan sama istilah kutu buku yang sebenarnya?
Nah, yang di depan kamar itu yang sedang duduk menikmati rokok dan kopi namanya Dani. Tiap waktunya habis digunakan untuk duduk merokok sambil menikmati kopi, alasannya sih sederhana ketika ditanya mengapa dia selalu duduk merokok di depan kamar.
“Saya itu ingin menolong Indonesia dari bahaya pabrik rokok. Kalau saya membakar pabriknya secara langsung, itu suatu tindakkan kriminal yang jelas berat hukumannya. Makanya saya bakar satu-persatu biar cepat habis itu rokok.”, jawabnya kalau ditanya mengapa dia selalu merokok. Sebenarnya itu bukan jawaban yang relevan sih. Itu hanya sebuah alasan supaya dia dianggap sebagai pahlawan tanpa arah tujuan.
Yang sedang duduk menghadap laptop itu namanya Rawan. Ngeri banget kan namanya Rawan, sangat cocok dengan raut wajahnya yang benar-benar rawan tertutup jenggot dan kumis. Umurnya baru dua puluh tahun, tapi kalau kalian melihat dengan teliti lagi, kalian pasti mengira dia berumur empat puluhan tahun ke atas. Yah, begitulah dia yang sangat terinspirasi sama perjuangan Osama bin Laden. Eit, jangan kira dia mengikuti aliran terorisme ya? Dia adalah seorang pejuang mahasiswa yang tergila-gila dengan cara kabur dan menghilangnya Osama ketika di-uber-uber oleh Amerika. Hanya itu yang ia suka dari Osama. Selebihnya nggak ikut-ikutan deh.
Oh iya, kamar kami dihuni delapan orang lho, tapi yang menetap tinggal orang empat saja. Mengapa tinggal orang empat? Ceritanya panjang, takutnya ini akan berubah menjadi cerita yang berdarah-darah lagi mengucurkan air mata.
Di kamar kami ada perpustakaan pribadi lho. Kalo kalian lihat tadi waktu Andi baca buku, itu dia meja atau rak perpustakaan kami. Keren kan? Hehehe. Di kamar kami juga ada rental komputer, kita di sini membuka rental pengetikkan berupa surat atau makalah atau tugas ketik mengetik lainnya. Kalau kalian lihat Rawan menghadap laptop, nah itu dia karyawan rental kami. Dia sedang mengetik tugas revisi skripsi dari kamar sebelah, hasilnya lumayan bisa buat makan sehari untuk empat orang kalau akhir bulan mulai mendekat.
Terbebas dari itu semua, di kamar kami juga menyediakan cassino perjudian lho. Itu kartu remi yang ada di antara lemari adalah bukti bahwa kamar kami menjadi ajang perjudian. Sebenarnya bukan judi dalam arti yang sebenarnya sih. Kami bermain kartu hanya sebagai ajang untuk mengambil galon ketika habis airnya. Yah, sepeti biasa, yang kalah harus siap mengisi galon dengan air keran yang ada di samping masjid. Permainan ini pun hanya berlangsung ketika galon mulai hampir habis airnya. Setelah galon terisi penuh, kartu remi pun akan termuseumkan di antara sela lemari.
Kamar kami juga mempunyai tetangga lho, orangnya super duper mencangkem kalo di bahasa kami. Ya begitulah, ada apa-apa dikit dia menyebarkan tuh omongan yang nggak sesuai fakta. Berkata tanpa berfikir, itulah dia tetangga kami yang bernama Om. Sebenarnya nggak terlalu penting sih menerangkan si tetangga, apa lagi dalam ajaran agama kami itu dilarang yang namanya menggelendengi atau menjelekkan tetangga. Sengaja ku sebutkan biar lengkap kehidupan kami sebagai orang yang hidup bersosial dan bermasyarakat.
Ini juga perlu diterangkan. Kamar kami berada di lantai dua, di depan kamar kami ada tangga yang berjumlah sepuluh undak-undakan, cara bahasa Jawa-nya begitu, tetapi bahasa kami sudah jarang digunakan karena pengaruh budaya Korea yang masuk ke negara ini lewat film-film dramanya yang lebe gitu. Yang anehnya, kok bisa ya orang-orang Jawa khususnya pemuda pemudinya termakan budaya itu? Seharusnya mereka itu bisa menunjukkan kalo budaya Jawa itu lebih baik dan indah dari budaya Korea itu. Ini lho Jawa! IKI LHO JOWO!
Dari undak-undakkan sampai membahas budaya? Maafkan kami teman, mungkin jiwa ini sedang emosi dengan tingkah laku dan fakta yang terjadi di depan mata kami, but no problem. Seharusnya kita bisa mencontoh cara mereka menyebarkan budaya lewat media-media, jangan kita yang menjadi korban budaya mereka sehingga budaya kita tersingkirkan oleh kita sendiri yang mengkonsumsi budaya luar. Lalu apa fungsinya Panca Sila sebagai filter budaya-budaya? Lho kok timbul pertanyaa itu ya? Jawab di hati kalian masing-masing juga boleh kok.
Hampir saja lupa. Perkenalkan namaku Sonep, teman-teman memanggilku Ipunk. Awal mula kejadian nama Ipunk lahir adalah ketika dua tahun lalu aku suka bermain ketipung. Nggak nyambung bangetkan sama panggilan penaku? Yang terpenting adalah kalian sudah mengetahui sejarah nama penaku lahir dan melekat sampai sekarang.
Mungkin suatu saat kalian akan bertanya tentang keadaan kamar kami selanjutnya.

MD Frans,
 02012013

2 comments:

  1. kereeeeeeeeeeeeeennn...pelajaran yang sangat luar biasa dari cerpen panjenengan...

    ReplyDelete