Baru
saja malam menepi menanti sang mentari, menanti kehangatan datang memberi
pancaran cahaya kehidupan. Tapi, tuhan tak berpihak pada sang malam. Pagi yang
cerah dinanti malam, tersatir awan mendung hitam karena langit baru saja
menangis, kabut pagi pun menari di sela-sela intipan matahari yang bersinar
sedikit malu-malu. Embun pagi dan bekas tetesan hujan masih melekat pada
daun-daun hijau yang tampak basah.
Di pojok sana baru saja daun talas
meneteskan air di atas kolam, membuat gelombang yang terus membesar dari sebuah
titik kecil. Nyanyian burung terdengar merdu pagi ini, walau sedikit sedih tapi
tetap terdengar merdu di antara kabut-kabut putih.
Dari pojok sana setelah memasuki gerbang bangunan bercorak Joglo,
sebuah masjid besar berwarna putih berlantai dua berdiri di depan pondok. Beduk
yang kusam, menghias di samping kiri serambi dengan dua kentongan dari kayu
jati kira-kira berumur ratusan tahun.
Udara di desa ini memang terasa dingin sekali, hawanya yang kata orang-orang
pribumi seperti di Eropa waktu musim dingin, dipenuhi dengan kemalasan dan
hasrat untuk kembali berselimut waktu pagi, terlebih memasuki musim pancaroba
seperti ini, brrrrrr dingin bangeet.
Dua gunung yang berdiri kokoh di ufuk timur menjadi penghias mata
kala mentari menyapa hangat mengintip dari baliknya. Tampak indah dengan sinar
mega merahnya yang menyorot dinding langit timur.
Suara santri mengaji terdengar kompak dari serambi masjid.
Menafsirkan ayat perayat sudah menjadi hal yang biasa bagi para ustadz agar
para santri dapat memahami al-Qur’an secara mendalam dan mudah menerimanya, dan
ini merupakan salah satu metode jitu agar para santri dapat menghafalkan
al-Qur’an dengan cepat dan mengena. Tak hanya hafal saja, tetapi santri
dituntut dapat mengamalkan setiap penafsiran yang terkandung dalam al-Qur’an
tersebut walau tidak secara langsung.
Dari gedung sebelah selatan, berdiri kokoh dinding bangunan
bercorak modern tingkat tiga, inilah pondok atau asrama putra. Dari setiap
kamar yang terlihat menggambarkan rasa tersendiri oleh orang memandang. Tepat
di tengah-tengah lantai bawah adalah kamar pengurus dan kantor pengurus putra.
Di sampingya sebuah warung kopi kecil tempat para santri biasanya ngopi bareng
atau sekedar menikmati cahaya mentari dulunya. Sekarang warung tersebut ter_aling-aling
bangunan baru berlantai tiga sehingga tak ada cahaya kehangatan yang
memancar mengena.
Di gedung sebelah utara, pondok putri dengan rapat tertutup kordeng
berwarna merah, entah itu menandakan apa, yang jelas tampak indah dengan
pesonannya, aula menghiasi lantai bawahnya, biasa tempat ini di gunakan untuk
mengaji, sama halnya dengan dengan pondok putra, santriwati pun juga mengaji
tafsir, biasanya di selingi dengan tambahan mufrodat-mufrodat bahasa
Arab atau vocabulary bahasa Inggris sebagai tambahan wawasan agar tak
ketinggalan dengan perkembangan zaman.
Sebelah timur aula adalah rumah Kiyai atau biasa ndalem
dalam istilah pondok pesantren. Berhiaskan dua pohon kecil di depannya dan
bersanding kolam ikan. Begitu asri tapi sedikit menyeramkan karena ini adalah
daerah yang di keramatkan oleh para santri.
sudah lama aku di sini
menimba dan terus menggali
mengapa pagi ini aku baru menyadari
sejuknya kalam tak pernah aku temui
dalam relung pesisir hati tak pernah aku mengerti
hina diri tak pernah terselami
aku terpuruk dalam himpitan ilmu
dalam indahnya problema yang dikandungnya
al-asy',
29042011
^<<<>>>^
malam ini...
kerlip bintang menyapa ku malu
aku tak tahu apa yang ada di balik itu
setiap siang menepi
selalu saja ada satu bintang yang tampak bersinar terang
dikala kabut malam menyapa
di tengah himpitan dingin yang menusuk sum-sum
di balik kerudung kelam....
aku masih tetap bertanya
apa yang ada di balik malam...
sepertiga malam menemaniku
dalam sunyi yang menyapa
ku membaca malam lewat angin
tak kurasa sang bayu di sepertiga malam ini...
ku hisap rokok tuk menemani
memecah malam membaca kelam...
sebentar lagi malam menepi
walau sang bulan malas tuk pergi....
pagi terus kan datang mengganti sunyi
seribu harapku dalam sejuta anganku
dambakan malam terus berbintang
di balik kerudung kelam bersama kabut malam
aku terus membaca malam
tersungkur di hamparan tanah
tersujud memelas...
surya yang menanti pagi
tak pernah ku harap ia kan datang
sebab aku merindukan malam
kelam bersama cumbu merayu-Nya...
dalam tangisan sepertiga malam...
Tuhan tolong dengarkan
bisikan ku di sepertiga malam....
dalam kelamnya malam
dalam jiwa yang tenang...
al-asy', 28042011
“ Kau masih ragu untuk
melangkah? Bukankah telah kau tetapkan dalam tekad mu untuk terus berjalan? Kau
ini bagaimana, belum berjalan saja kau sudah tak yakin, padahal kau yang
merancang perjalanan dirimu.”, Denai berkata padaku.
“ Bukan seperti
itu Den, aku hanya belum siap dengan kenyataan yang akan terjadi nantinya, aku
telah merancang semua ini tapi aku tak tahu kehendak-Nya, boleh saja aku
merancang merencanakan semua ini yang menurut diriku semua akan sukses, tapi
aku masih ingat Dia, di atas semua rencanaku masih ada yang menentukan
perjalanan ini akan berhasil atau tidak, aku belum siap Den jika nantinya aku
terjatuh di tengah jalan saat melangkah.”, sambil menarik nafas dalam ku jeda
perkataanku.
“
Hahahaha…..Awak….Awak…. kalau seperti itu yang kau hadapi. Mengapa tak kau
pasrahkan saja semua urusan ini pada-Nya, itu jika memang kau ingat Dia seperti
apa yang kau katakan tadi. Ingat Wak!!! Di balik semua perjalanan itu ada
pelajaran yang bisa diambil, tinggal bagaimana kau menyikapinya, jika sebelum
berjalan saja sudah menyerah, sama saja kau kalah sebelum bertanding. Sudahlah…… Kau pasrahkan saja semua urusan mu
pada-Nya, aku berani jamin, kau akan tenang nantinya. Jangan kau tambatkan
semua harapan mu pada manusia, bisa saja suatu saat nanti kau akan kecewa. Tambatkanlah
semua harapan pada-Nya, semua tak ada yang sia-sia dari apa yang dicipta-Nya.
Kau mengerti kan kawan..???”
Aku mengangguk
pelan sambil berfikir apa yang dikata Denai padaku sambil tersenyum penuh arti
sebuah suport penyemangat terhadap diriku.
“ Nah…. Begitukan
lebih baik, sekarang ambillah wudhu, kau sholat dua roka’at mengharap
ketenangan hati pada-Nya, biar kawan ku ini tenang lah…… berkacalah kau! Muka
kau kusut sekali seperti tak pernah mandi, hahaha….”, suruh Denai pada diriku
yang memang tampak kusut setelah aku berkaca di kamar mandi.
Kisah ini begitu
panjang tetapi sangat singkat ketika dituturkan oleh kedua bibir yang
membacanya. Entah bagaimana aku memulai langkah kaki setelah sekian lama
terseok mencari tentang apa arti hidup ini. Dari mata yang memandang ini
tampaklah seperti sebuah cerita biasa yang tiada artinya, tetapi sangatlah
indah ketika sebuah hati memandang dengan perasaan.
Kejadian itu sudah
berlangsung 8 tahun yang lalu, saat aku masih terpuruk dalam kebebasan rumah
dan lingkungan sekitar. Aku adalah seorang lelaki yang ingin terus berjalan
mencari arti dari sekian juta persepsi. Langkah pertamaku adalah awal
kesuksesanku, tinggal bagaimana aku mengayunkan langkah kakiku selanjutnya.
Akhir tidaklah begitu penting bagiku, proses ayunan langkahlah yang menentukan
akhirku. Kalau toh nanti aku terjatuh di akhir, setidaknya aku telah meminum
garam di tengah perjalanan saat melangkah. Sebuah prinsip yang tertanam dalam
hatiku “PERUBAHAN”, ya sebuah perubahan yang harus berarti untuk membentuk jiwa
yang terpuji.
“Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti”, kata seorang teman padaku lewat sebuah film kecil yang di buatnya
diangkat dari sebuah novel religi yang sangat membangun dan patut diacungi
jempol.
Disini dikala
semua terasa asing dengan panorama yang berbeda dan mentari yang sama, aku
terduduk di dalam buaian bersanding sebuah kitab kuno yang kata orang ini
adalah warisan seni tulis dari yang Empunya agar bisa diambil manfaatnya. Tak
habis pikir, hawa dingin di desa ini begitu menusuk tulang sampai sum-sum dan
tak kuat pula grahamku menggerutu menahan sakit. Delapan tahun sudah berlalu aku
disini dengan berjuta kenangan jauh dari tanah perantauan.
“Seperti apa tanah
kelahiranku saat ini..?”, gumamku dalam hati. Pandanganku melayang pada usia
tahun kepergianku kala delapan tahun silam. Teringat olehku senda gurauku pada
seorang sahabat yang sangat semangat memberi dukungan dan tak luput
mengingatkanku pada-Nya kala aku khilaf.
Denai, ya itu dia
nama yang masih terngiang selama ini, sesosok orang yang membawaku pergi dari
tanah kelahiran di pulau seberang menuju desa ini, desa yang terkenal dengan
makanannya yang khas dan pengairannya yang tak pernah habis. “Kalibeber”,
sebuah nama yang selalu dikatakannya di bawah temaram malam saat rembulan
meredup di tengah kelam berkabut tanah seberang.
Entah rasa apa
yang bercokol pada hatiku pada saat itu, saat menghabiskan malam bersanding
kopi dengan lontaran cerita masing-masing, tiba-tiba saja aku ingin datang ke
desa ini seperti apa yang dikatakan Denai sahabatku. Sebuah desa yang begitu
asri dengan Al-Qur’an Akbar yang menghiasi sebuah pondok pesantren dengan
seorang Kiyai Sepuh yang aku pun berada di dalamnya sampai saat ini.
Fikiranku masih
menyangkut tertinggal di tanah seberang, tak terasa ada hujan di pipi teringat sebuah
malam saat aku berkemas hendak melangkah ngangsu di desa ini. Sebuah kabar
datang dari gema surau tentang kematian Denai, sesosok sahabat yang membawaku
sampai ada disini (walau hanya harapannya yang membawaku datang kesini).
Mendung di mata yang tumpah menjadi air hujan di pipi ini tak terbendung
mengucur memoles wajah hitamku. Banyak orang merasakan ini, tapi dadaku
merasakan hal yang lebih dari banyak orang yang merasakan, karena ini adalah
hal pertama dalam hidupku. Sahabat kecil yang mengisi hari di serambi surau
dekat rumah Pak Lurah dengan senyum dan tawa saat siang digilas mentari, saat
harapan hampir mati.
Cerita singkat
yang tak kuasa aku melanjutkannya, sampai saat ini sakitnya masih terasa saat
kehilangan. Ku layangkan kembali fikirku setelah kejadian malam itu sampai esok
pagi dengan air mata kehilangan, ku langkahkan kaki tanpa sungkem bahkan
pamit orang tua. Hanya bermodal pasrah ku lanjut bersangukan
perlindungan dan penjagaan-Nya, bismillah ku naiki sebuah mobil yang
membawaku sampai desa ini hingga saat ini.
Sebuah perjalanan panjang namun terasa singkat dituturkan. Pagi ini
bersama laju roda berputar, di temani kabut pagi dan sedikit cahaya matahari
yang tampak malu di balik awan, butiran huruf kembali tertulis bersama ukiran kenangan
dan langkah waktu berjalan. Tak pernah aku paham
akan keberadaanmu, kau selalu hadir dalam fikirku tanpa ku sadari kau telah
menjadi bagian dalam anganku, berjuta-juta kata syair tertuang dalam catatan
yang telah kusam ini, lembar demi lembar terukir kisah tentang mu. Di balik
semua ini hanya satu harapku. Pada-Nya ku memohon kebahagiaanmu, karena dirimu
aku tahu.
Kalibeber,
20-11-2011
Terlalu panjang ceritanya but good enough lah, salam kenal, visit my blog : www.mamatkaulo.blogspot.com
ReplyDeleteuyeee..... ane mampir brow. siap2 kopi ya :D
Deletemakasih udah mampir di blog ane :D