Matahari di atas semakin terik. Seandainya tak ada
beringin yang menaungi mereka berdua, tentulah mereka sudah bubar karena
panasnya sinar matahari. Memang, pohon itu pelindung yang perlu dijaga
kelestariannya. Tanpa terasa waktupun menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh
empat menit.
“Perlu kamu ketahui Teng. Dunia teknologi dan internet
sekarang itu berkembang sangat pesat di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Imbasnya, jumlah pengguna internet saat ini semakin besar dan bertambah terus
setiap harinya. Dari 245 juta penduduk Indonesia, pengguna internet di
Indonesia mencapai 55 juta orang. Angka 55 juta pengguna ini berdasarkan data
Desember 2011. Bayangkan coba!”,[1]
jelas Samu.
“Berarti sekarang jumlah sudah jauh di atas angka iku
yo lek?”, tanya Guteng.
“Oh jelas itu. Jumlah pengguna internet di Indonesia
menguasai Asia sebesar 22,4 persen, setelah Jepang. Dan Indonesia merupakan
negara peringkat ketiga di Asia untuk jumlah pengguna internet. Woooww tenan tho?”
“Ho’oh lek. Asem
tenan ig”, gemes Guteng.
“Ndak cuma itu aja Teng. Berdasarkan data Kominfo
April 2012, jumlah pengguna jejaring sosial di Indonesia itu juga besar. Setidaknya
tercatat sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna
Twitter di Indonesia. Dan Indonesia menjadi negara kelima terbesar pengguna
Twitter di bawah Inggris dan negara besar lainnya."
“WAAAAAAHHHHH…. KOK AKU KATROK BANGET THO LEK?”,
teriak Guteng yang gemes pada dirinya sendiri.
“Kamu itu ndak katrok Teng, kamu itu belum sadar media
saja. Di pondok mu ada akses internet tho?”
“Ada lek, tapi itu khusus di perpus thok jhe lek. Aksesnya pun hanya
orang-orang tertentu thok yang bisa
menggunakan.”
“Walah.. PEKOK
kamu Teng. Fasilitas sudah ada kenapa ndak kamu manfaatin? Sekarang gini teng.
Di pondokmu ada berapa komplek?”
“Kok pekok tho?
Di pondokku ndak ada komplek-komplekan lek, adanya blok”, Guteng manyun.
“Yo wes intinya itu. Ada berapa?”, tanya Samu agak kesal.
“Kalo yang putra sekitar 20 blok lek, kalo yang putri
ndak tau aku lek.”
“Jumlah rata-rata santri satu bloknya ada berapa?”,
tanya Samu.
“Yaaa sekitar 35 sampai 40 orang lek.”, jawab Guteng
yang masih tampak bingung.
“Naaah… Saiki
bayangke Teng. BAYANGKAN ! Seandainya 20 kamar itu diambil 20 anak, dan
setiap anak itu disuruh menulis tentang sejarah Pondokmu serta sistem
pembelajarannya. Kira-kira dapat berapa karya tulis itu?” terang Samu
sumringah.
“Emmmm, 400 karya tulis lek kaya’e?”
“Ojo muni
kaya’e. Iki serius !”, tekan Samu.
“Ya ! 400 karya tulis lek !” tegas Guteng.
“Naah kaya gitu kan manteb jawabannya. Gini teng, 400
tulisan itu kalo di masukkan di Sosial Media mereka masing-masing seperti
Blogger gitu, dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama,
dengan harapan yang sama. “KLIK”, terposting dalam blogger. Pondokmu bakal
dikenal di seluruh dunia Teng. Saat orang-orang sedang buka internet dan
membuka nama pondokmu, 400 tulisan karya santri tadi itu yang terpajang di Mbah
Goggle. Ini baru satu waktu Teng. Belum lagi kalo satu hari itu posting 5
artikel. Belum lagi kalo ketambah dari santri putri. Kalo bisa bertahan satu
tahun. Dunia gempar Teng sama artikel-artikel karya santri pondokmu.”
“WAAAaaaah. Ho’oh yo lek. Kenapa ndak dari dulu yo
begitu? Asem tenan lek.”, greget
Guteng.
“Ini Teng.. Ini… konsep film Linimasa yang
dikembangkan oleh mereka-mereka yang tergabung dalam komunitas blogger.”, greget Samu.
“Opo lek?
Linimasa? Opo iku lek?”, tanya Guteng
yang tiba-tiba penasaran sambil mengrenyitkan dahinya.
“Jadi gini Teng. Film Linimasa ini menggambarkan
penggunaan media sosial di tanah air kita ini. Dan ini menjadi mau menjadi
kurikulum di SMA di Australia Barat. Laman Linimassa.org menulis, jika
Pemerintah Australia Barat khususnya yang menangani standar serta kurikulum
Sekolah Menengah Atas telah meminta permohonn ijin penggunaan film Linimassa
karya anak Negri kita. Bayangkan jika Indonesia seperti itu Teng.. Guteng…?”
“Woow. Tapi aku belum paham jhe lek.”
“Gini Teng. Dalam salah satu episode film Linimassa
digambarkan bagaimana seorang tukang becak di Jogjakarta menggunakan media
sosial dan internet dalam mendukung aktivitasnya. Ia adalah Blasius Haryadi atau yang dikenal
dengan nama Harry Van Yogya. Harry Van Yogya menggunakan internet khususnya
media sosial sebagai media dalam memperkenalkan Yogyakarta ke mancanegara.
Banyak wisatawan asing yang mengubunginya via media sosial yang akhirnya
menggunakan jasanya sebagai guide.[2]
Seandainya pondokmu itu terkenal sampai ke mancanegara, mereka akan penasaran
sama pondokmu. Dan biasanya orang manca itu kalo penasaran pasti bakal cari
tahu langsung dengan mendatanginya. Apa lagi di pondokmu itu dikenal sebagai
pencetus Kaligrafi Akbar. Ini kesempatan dakwah Teng. KAPAN LAGI KALO NDAK
SEKARANG?”
“Whahahahahahaha. Jancuk
pikiranmu lek. Iyo yooo… ngopo baru
sekarang kamu kasih taunya lek. Asem
tenan.”
“Weleh. Koe santri tapi kok ngomong Jancuk. Tak omong pengasuhmu nanti.”,
ancam Samu sambil cengengesan.
“Kata Mbah Sujiwo Tedjo, ‘JANCUK IS NOT ALL FUCKING’. Hehehehe jadi ndak papa tho aku
mengungkapkan rasa gumun ku dengan kata Jancuk.
Hehehehe”, jawab Guteng ngguya-ngguyu.
“Whahahaha. Jika dengan JANCUK pun aku tak bisa mengeduk hatimu, dengan air mata mana lagi
aku bisa menjumpaimu? Ngene iki aku yo
santrine Mbah Jiwo Tedjo. Hahahaha.”
Tawa mereka lepas memecah siang dengan terik
mentarinya. Dari jauh tawa itu tampak begitu renyah, sampai adzan Dzuhur
melengking dari surau memenuhi udara. Mereka berdiri tuk pergi memenuhi
panggilan itu.
=====<<<>>>=====
Franssas, 30012013
wah kreatip :D d
ReplyDeletetengok juga >> http://entegila.wordpress.com/2012/12/02/santri-lakon-bukan-penonton/
woke woke
ReplyDeletedari awal membaca, saya sudah menduga ke arah yang dituju dalam kampanye linimassa... ternyata memang benar....
ReplyDeletesaya setuju dengan pemanfaatan internet sebagai media dakwah para santri...
salut untuk ilustrasi ceritanya.... ^_^
hehehe terimakasih shob. salam kenal ya.
ReplyDelete