Sejak berdirinya Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65/66 (YPKP 65/66)
dalam bulan April 1999 di Jakarta, penggalian kuburan massal di hutan
Situkup (desa Dempes, kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo) 18 kilometer
dari Wonosobo, Jawa Tengah merupakan salah satu di antara serentetan
Penggalian kuburan massal di hutan Situkup ini, yang dilakukan selama tiga
hari (tanggal 16, 17 dan 18 November 2000) adalah pelaksanaan sebagian dari
salah satu program (program penelitian forensic) diantara tiga program
penelitian utama Departemen Penelitian YPKP. Tiga program penelitian utama
tersebut adalah : pertama, Penelitian Dasar yang bertujuan antara lain untuk
mengungkap jumlah korban pembunuhan, penyiksaan, penahanan dan pelanggaran
HAM; kedua, Penelitian kasus yang bertujuan untuk mengungkap berbagai
pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran HAM yang bersifat khusus (sangat
diluar perikemanusiaan); dan yang ketiga, Penelitian forensic, yang
dilakukan dengan pembongkaran kuburan massal dalam rangka pembuktian secara
forensic atas korban pembunuhan 65-66.
Ketiga program tersebut secara keseluruhan bertujuan untuk memberikan
sumbangan kepada usaha mencari kebenaran sejarah, terutama yang berkaitan
dengan pembunuhan massal 65/66. Usaha mencari kebenaran sejarah tentang
pembunuhan 65/66 ini dianggap penting oleh YPKP, karena selama puluhan tahun
pemerintahan Orde Baru masalah ini telah dijadikan tabu untuk dibicarakan
secara terbuka dalam masyarakat, dan di samping itu juga telah terjadi
pemalsuan dan penggelapan tentang berbagai fakta sejarah.
Ketua YPKP, Ibu Sulami (74 tahun), dalam berbagai kesempatan telah
menjelaskan kepada umum bahwa penelitian mengenai pembunuhan 65/66 adalah
untuk menegakkan perasaan keadilan bagi anggota keluarga para korban yang
jumlahnya amat besar. Penegakan perasaan keadilan lewat pencarian kebenaran
sejarah adalah dengan tujuan akhir untuk menciptakan rekonsiliasi nasional,
yang dibutuhkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Juga mengenai penggalian kuburan massal di Wonosobo ini, ditekankannya bahwa
tujuannya adalah semata-mata dengan pertimbangan kemanusiaan. Sebab,
berdasarkan data yang ada di Departemen Penelitian YPKP diketahui bahwa di
hutan dekat Wonosobo itu terdapat kuburan massal, dan juga ada keluarga para
korban yang mencari-cari orangtua atau sanak saudara mereka yang hilang
tanpa diketahui di mana kuburannya. Jadi, sama sekali tidak ada maksud untuk
mengungkap luka lama atau menggugah dendam.
LANGKAH-LANGKAH SEBELUM PENGGALIAN KUBURAN
Projek penggalian kuburan massal dekat Wonosobo ini dikoordinir oleh sdr
Ester Jusuf SH, Kepala Departemen Hukum YPKP dan didampingi satu team
forensik yang dipimpin oleh Dr Handoko dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
YPKP telah memberitahukan rencana penggalian kuburan massal ini kepada
Komnas HAM di Jakarta. Kerjasama dengan Komnas HAM ini telah sangat membantu
dalam memperoleh ijin dan bantuan dari berbagai instansi pemerintahan daerah
(kabupaten, instansi militer dan kepolisian setempat). Bantuan dari fihak
aparat pemerintah telah termanifestasikan dengan ditugaskannya 12 orang
(terdiri dari unsur Kodim, Direktorat Sospol, dan kepolisian) untuk mengatur
keamanan jalannya penggalian yang berlangsung selama tiga hari itu.
Kontak-kontak yang dilakukan oleh YPKP dengan berbagai fihak juga telah
menghasilkan adanya kerjasama dengan Banser dan Satgas PDI-P di wilayah
tersebut. Untuk menjaga keamanan telah diperbantukan lebih dari 15 orang
anggota Banser dan 15 anggota Satgas PDI-P. Itu semua menunjukkan bahwa
penggalian kuburan massal di Wonosobo ini telah mendapat bantuan dari
berbagai fihak.
Dengan adanya bantuan dari berbagai fihak (Komnas Ham dll) dan juga
kerjasama dengan fihak pemerintah daerah, maka penggalian kuburan massal di
Wonosobo ini berlangsung dalam suasana yang jauh berlainan dengan penggalian
kuburan yang pertama kali dilakukan di Blora beberapa tahun yang lalu.
Penggalian di Blora telah dilakukan sebelum YPKP berdiri dan berlangsung
dalam keadaan sulit (karena Orde Baru masih berkuasa) dan secara
"sembunyi-sembunyi", sedangkan yang di Wonosobo dilakukan secara terbuka.
Oleh karena itu, YPKP menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada
Pemerintah Daerah Wonosobo dan Komnas HAM.
PENEMUAN YANG MELAMPAUI JUMLAH YANG DI PERKIRAKAN
Penggalian kuburan massal selama tiga hari itu merupakan langkah pertama dan
penting dalam usaha bersama untuk membuktikan bahwa dalam tahun 65/66 telah
terjadi pembunuhan besar-besaran dan secara sewenang-wenang terhadap
sejumlah warganegara Indonesia yang tidak bersalah. Menurut keterangan Dr
Handoko (yang memimpin team forensik), dari proyektil-proyektil yang
ditemukan pada kerangka yang digali bisa ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan
ini dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang dan laras pendek
yang diduga hanya dimiliki oleh militer.
Pada hari pertama, di bawah curahan hujan yang lebat, oleh para penggali
telah ditemukan 7 kerangka. Di antaranya terdapat kerangka seorang
perempuan, yang bisa di-identifikasi dari gigi bagian depan yang
di-"pangur" (diratakan), sisir warna merah dari plastik, dan semacam
selendang sutera yang melilit pada kerangka leher.
Pada hari kedua, dengan disaksikan oleh penduduk yang datang
berbondong-bondong dari berbagai kota-kota yang jauh, ditemukan 10 kerangka
lagi. Di antaranya ada kerangka yang jari-jariya memakai cincin kawin yang
dihiasi dengan huruf SUDJIJEM dan bertanggal 28-6-1965. Ini berarti bahwa
pemilik cincin kawin ini telah ditembak tidak lama setelah ia menikah. Jadi,
sampai pada hari kedua yang juga selalu diguyur hujan itu, telah ditemukan
17 kerangka.
Menurut data yang ada di Departemen Penelitian YPKP, di lokasi itu
diperkirakan terdapat 21 korban pembunuhan. Jadi, pada hari ketiga
diperkirakan akan ditemukan sisanya sebanyak 4 kerangka lainnya lagi.
Tetapi, ternyata kemudian bahwa pada hari itu telah ditemukan tambahan 7
kerangka lainnya. Ini berarti bahwa, selama tiga hari penggalian telah
ditemukan sebanyak 24 kerangka dan diperkirakan masih ada lagi kerangka yang
lain, karena masih banyak bidang-bidang tanah sekitarnya yang belum sempat
tersentuh oleh cangkul atau sekop. Dapat dipastikan bahwa jumlah korban
adalah melebihi dari jumlah perkiraan semula yakni 21 orang korban.
Mengingat penggalian itu sudah berlangsung tiga hari, dan karena
keterbatasan faktor beaya maka penggalian dihentikan pada petang hari
ketiga (tanggal 18 November). Diharapkan penggalian dapat diteruskan setelah
kondisi dan persyaratan-persyaratan lain yang diperlukan dapat dipenuhi.
ARTI PENTING BAGI SEJARAH
Dengan persetujuan berbagai instansi pemerintah daerah, lokasi penggalian
kuburan massal ini untuk sementara ditutup untuk umum. Sebagai pengamanan
telah dibuatkan pagar dan dikunci dengan rantai yang digembok. Kunci telah
diserahkan oleh panitia kepada pemerintah setempat (Wakil Bupati Wonosobo).
Penggalian kuburan massal di desa Dempes, yang dilaksanakan dengan bantuan
ahli forensik Dr Handoko ini, telah menarik perhatian banyak orang, termasuk
dari kalangan pers. Mengingat pentingnya peristiwa ini bagi penegakan
kebenaran sejarah, maka bagian-bagian penting proses penggalian dan
hasil-hasilnya telah diabadikan dengan foto dan film.
Dengan tersiarnya berita tentang penggalian kuburan massal ini, maka
berbagai reaksi positif dan pernyataan simpati yang mencerminkan dukungan,
telah diterima oleh YPKP.
Badan internasional Asian Human Rights Commission telah mengeluarkan seruan
"urgent action" kepada publik internasional untuk menuntut kepada
pemerintah Indonesia (Presiden Abdurrahman Wahid) dan Komnas Ham supaya
diadakan pengusutan terhadap pembunuhan massal tahun 65/66 yang diperkirakan
telah merenggut jiwa lebih dari satu juta orang.
Dalam suasana untuk mencari kebenaran sejarah dan menegakkan keadilan lewat
penelitian ini, YPKP menyambut gembira pernyataan pimpinan wilayah Gerakan
Pemuda Ansor Daerah Istimewa Yogya yang mengungkap bahwa GP Ansor (DIY)
telah membentuk tim investigasi untuk meluruskan sejarah tragedi 1965. Dalam
pernyataan itu dikemukakan bahwa disangkutkannya warga NU, khususnya
Banser, dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI hanyalah dimanfaatkan dan
dijadikan alat oleh militer untuk kepentingan militer waktu itu.
Dalam pernyataan Ketua GP Ansor, Drs H. Nurudidin Amin kepada redaksi Bernas
tanggal 21 November ditegaskan bahwa organisasinya bertekad dan
berkepentingan untuk meluruskan sejarah mengenai tragedi tersebut, dan
menyampaikan permintaan ma'af kepada para keluarga korban tragedi 1965 itu.
Menurutnya, di mana pun posisi Banser saat itu, pembunuhan adalah
pelanggaran HAM dan itu merupakan dosa, dan karenanya, selaku keluarga besar
GP Ansor dan Banser menyatakan permintaan maaf setulus-tulusnya.
LANGKAH PERMULAAN PERJALANAN PANJANG
Berkat bantuan dari berbagai fihak, penggalian kuburan massal di Wonosobo
telah bisa dilaksanakan dengan lancar dan dengan hasil yang memuaskan.
Namun, langkah ini barulah merupakan langkah permulaan dari perjalanan yang
cukup panjang untuk menegakkan kebenaran sejarah sekitar pembunuhan massal
65/66. Sebab, pembunuhan yang serupa di desa Dempes (Wonosobo) ini juga
terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di Indonesia.
Penelitian sejarah tentang peristiwa yang menyedihkan ini memerlukan waktu
yang cukup panjang, beaya yang tidak sedikit, dan kerjasama yang tulus dari
banyak fihak. Dengan semangat untuk mencari penyelesaian yang adil demi
kerukunan antar berbagai komponen bangsa, maka YPKP berharap untuk bisa
meneruskan tugasnya, dengan mengatasi berbagai kesulitan.
Kunjungan Nyonya Danielle Mitterra nd (istri almarhum Mantan Presiden
Prancis Fran_ois Mitterrand) ke Indonesia akhir Agustus sampai 4 September
yang lalu, untuk memenuhi undangan YPKP dalam rangka kerjasama di bidang
penelitian pembunuhan 65/66 adalah manifestasi bahwa yayasannya menaruh
perhatian dan simpati terhadap masalah yang penting di bidang hak asasi
manusia ini. Selama kunjungan di Jakarta dan Yogyakarta, beliau telah
bertemu dengan berbagai pejabat tinggi pemerintahan dan juga dengan banyak
LSM untuk mempersoalkan pentingnya penelitian tentang pembunuhan 65/66 dan
juga nasib para eks-tapol beserta keluarga mereka. Pertemuan beliau di
berbagai tempat dengan para eks-tapol beserta para keluarga mereka itu telah
merupakan dorongan bagi banyak orang untuk meneruskan perjuangan dalam
membela hak asasi manusia.
SAKITNYA IBU SULAMI
Ketua Umum YPKP, Ibu Sulami, dewasa ini sedang dirawat di rumahsakit Cikini
(Jakarta) karena menderita sakit agak berat. Menurut keterangan para petugas
YPKP, sakitnya ini adalah akibat dari bertumpuk-tumpuknya kelelahan yang
disebabkan oleh kerja keras berhari-hari sebelum dan selama penggalian
kuburan di Wonosobo. Tanpa kenal lelah dan tanpa menghiraukan hujan lebat,
ia berkeras untuk selalu mengikuti dari dekat proses penggalian kuburan.
Karena berbagai sebab, antara lain emosi yang meluap-luap dengan
ditemukannya 17 kerangka, maka ia kemudian jatuh sakit. Mula-mula Ibu
Sulami dirawat di rumahsakit Wonosobo, tetapi kemudian dipindahkan ke
Jakarta demi perawatan yang lebih baik. Sejak terdengarnya berita tentang
sakitnya Ibu Sulami ini, kantor YPKP terus dibanjiri setiap hari oleh
berbagai pernyataan simpati, baik yang datang dari dalamnegeri maupun
luarnegeri. Sumbangan keuangan untuk pengobatannya pun mulai diterima dari
berbagai fihak. Sumbangan ini merupakan bantuan besar untuk meringankan
beban YPKP yang sekarang ini masih terpaksa bekerja dengan sulit karena
kecilnya dana.
Amanat dari Om http://herilatief.wordpress.com/ untuk disebarkan.
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Semoga lancar dan kebenarannya segera diketemukan ya Mas Damar.
ReplyDeleteDan untuk Bu Sulami, semoga segera di beri kesembuhan.
Salam..
Amiiiin ^_^
Delete