Saturday 22 September 2012

Matahari Yang Telah Hilang




Baru saja malam menepi menanti sang mentari, menanti kehangatan datang memberi pancaran cahaya kehidupan. Tapi, tuhan tak berpihak pada sang malam. Pagi yang cerah dinanti malam, tersatir awan mendung hitam karena langit baru saja menangis, kabut pagi pun menari di sela-sela intipan matahari yang bersinar sedikit malu-malu. Embun pagi dan bekas tetesan hujan masih melekat pada daun-daun hijau yang tampak basah.
            Di pojok sana baru saja daun talas meneteskan air di atas kolam, membuat gelombang yang terus membesar dari sebuah titik kecil. Nyanyian burung terdengar merdu pagi ini, walau sedikit sedih tapi tetap terdengar merdu di antara kabut-kabut putih.
Di tengah teras sebuah gubuk yang berada di seberang langgar kecil, terduduk seorang pria di atas kursi. Matanya menatap ke arah jendela rumah berkorden biru yang menyimpan jutaan kenangan. Dalam hatinya selalu berharap akan ada orang yang membukanya tapi itu tak pernah terbuka. Tujuh tahun sudah hari-hari ia jalani dengan sendiri, setiap pagi menanti mentari sambil menatap jendela berkorden biru di seberang.
“Huffft……”, desahnya perlahan sambil mengeluarkan kepulan asap rokok. Ditemani secangkir kopi.
“Mengapa jendela itu masih tertutup ? Tak seorangpun yang membuka untuk menepis semua kerinduanku. Sampai kapan aku kan menunggu itu terbuka ?... huft….”, disruputnya kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap panas di atas meja.
Di pagi dengan dinginnya terlintas bayangan indah saat dirinya melihat jendela biru seberang. Berawal dari sebuah tatapan mata dari arah jendela, wajah pualam dengan kerudung cokelat menyikap korden membersihkan jendela. Ia tersenyum sendiri saat teringat kejadian itu, di ambilnya buku dan pena yang ada di samping, sembari mengingat kejadian silam ia pun menulis.
“Dengan tulisan jelek selama 7 tahun lebih aku telah tuliskan ribuan lebih kata-kata indah, melahirkan sajak-sajak cinta yang tak dapat dipahami, kecuali oleh orang-orang yang mempunyai ilmu seni cinta. Mungkin nanti, entah esok atau kapan, tulisan jelekku mungkin akan menjadi pembungkus nasi bahkan tempe atau menjadi sampah yang akhirnya dibuang.
Tak sempat aku tundukkan pandangan saat aku tatap wajahmu dari ujung gubukku. Aku lempar senyum dan kau membalas, hanya mata yang berbicara saat aku melihatmu diam-diam, mulut tak mampu mengungkap makna yang terpendam dalam hati yang terdalam.
 Hati kecilku mengatakan, “percuma kebal senjata bila hanya karena cinta aku tak berdaya”. Aku tak butuh hiburan, aku tak butuh penyemangat, aku tak butuh mental, yang ku butuhkan adalah prisai hati agar aku tak mempan disakiti.
Andai saja waktu itu ku tundukkan pandangan ku, mungkin aku takkan terjatuh dalam perangkap cinta. Semua ini adalah kecelakaan dan bukan kesengajaan. Aku terluka parah karena cinta, sedangkan obat penawar lukaku adalah dirimu, tapi sampai saat ini aku hanya mampu diam dan bisu untuk mengobati luka ku dengan mengungkapkan perasaan cinta itu.
Tujuh tahun telah berlalu, aku sepi tanpamu. Aku sangat sadar bahwa terlalu tinggi dan terlalu jauh bagiku tuk berfikir bisa melewati hari-hariku bersamamu, apalagi memilikimu dan membahagiakanmu. Aku merasa, di hadapanmu aku hanyalah rumput kering yang tak berguna dan hanya akan mengotori taman kehidupanmu.
Maafkan aku yang telah menjadi pungguk merindukan bulan bagimu, aku hanya ingin kau tahu akan perasaanku ini. Aku tak begitu berharap kau akan menyambut cintaku, karena ku takut aku kan menjadi hijab yang menyatir kenikmatan beribadah dan membuat ke-alphaan dalam indah masa-masa beribadahmu pada-Nya.”
“Huft….., sampai kapan aku kan menulis seperti ini, jemariku sudah cape’ sekali menulis jutaan kata-kata cinta untukmu. Jendela itu tak pernah terbuka lagi olehmu, dimana gerangan dirimu?”
Di serutnya kopi yang sudah tampak mendingin di atas meja, di sulutnya rokok yang telah mati, kembali ia terlarut dalam pandangan menatap jendela seberang.
“Pagi yang selalu saja terulang.”, desahnya perlahan.
Diraihnya kembali buku dan pena yang tergeletak di atas meja, ia melanjutkan tulisan di atas buku yang telah kusam mencokelat.
“Tujuh tahun telah berlalu, hari-hari ku lalui dengan menatap jendelamu. Perasaan baru kemarin aku melihatmu di jendela membersihkan kaca dan tersenyum teduh, perasaan baru kemarin aku merasakan hangat bahagia melihat senyummu.
Pagi ini bersama laju roda berputar, di temani kabut pagi dan sedikit cahaya matahari yang tampak malu di balik awan, butiran huruf kembali tertulis bersama ukiran kenangan dan langkah waktu berjalan. Tak pernah aku paham akan keberadaanmu, kau selalu hadir dalam fikirku tanpa ku sadari kau telah menjadi bagian dalam anganku, berjuta-juta kata syair tertuang dalam catatan yang telah kusam ini, lembar demi lembar terukir kisah tentang mu. Di balik semua ini hanya satu harapku. Pada-Nya ku memohon kau kembali membuka jendela itu.”
Ditutupnya buku kusam itu dengan desahan panjang. Kembali ia menatap jendela biru seberang bersama hisapan rokok dan secangkir kopi yang sudah dingin.
Hampir sempurna matahari menyapa bumi, langit kembali menangis menemani paginya. Dawai kicauan burung tergantikan dengan rintik hujan, kabut hilang berganti deru angin tenang. Di pojok sana daun talas menahan guyuran hujan, rintik-rintik hujan menghiasi kolam dengan gelombang-gelombang beruntun.
“Hahaha… matahari yang telah hilang…akankah kau kembali menyinari hari-hariku?”, tawanya sambil bermain hujan dengan tangan di depan teras gubuk.
“Tin…tin….”, suara klakson mobil kijang berhenti di depan rumah seberang, dilihatnya wanita berpayung dengan ibunya keluar dari mobil.



Ms. D.
Al-asy’, 220611

Aku Sejuta Pertanyaan



 Aku Sejuta Pertanyaan
Sejauh mata memandang, hamparan pasir putih berbuih menyapa mata dengan pesona silau beriring suara deburan ombak kejar mengejar menuju karang. Kicauan unggas laut terdengar samar tertelan nyanyian pantai dengan anginnya yang terasa keras menyambar kulit. Entah rasa apa yang menyapa hati sehingga menginginkan kaki melangkah mendekati tempat ini.
Lambaian daun kelapa di ujung kiri menari indah dengan pesona gembira menggerakkan setiap jari dari pelepahnya. Kepiting-kepiting kecil berlari keluar dari lobang mengejar panganan yang tersisa di antara buih-buih ombak di atas pasir, entah seperti apa makanan itu aku tak tahu, karena aku bukanlah seekor kepiting yang berlari miring.
Hendak dimulai dari mana kisah ini aku masih berfikir, sembari menatap biru garis cakrawala di tengah samudra dengan sejuta angan yang ada dalam benak dan fikiran.
“Ada apa di balik tanda kekuasan tuhan?”, Tanya ku dalam hati. “jikalau itu merupakan tanda supaya aku beribadah dan tunduk bersyukur pada-Nya, semua telah aku lakukan dengan sepenuh hati yang amat sangat mendalam, tapi pertanyaannya adalah apakah aku sudah termasuk kriteria yang di harapkan-Nya? Tanpa ku beribadah dan taat pada-Nya, Dia tidaklah rugi atau kurang. Ibadah ku jua pun tak membuat-Nya tambah.”, hatiku berdebat dengan fikirku yang melayang jauh ke sana.
Memang sulit menerka semua itu dengan apa yang terjadi pada hati kecil ini lewat semua fikiran-fikiran yang menurut ku bodoh seperti yang ku rasa. Sering ku tanyakan itu pada kawan yang tampak lebih dalam berfikir. Jawab mereka tak mengobati rasa bodoh itu dari diriku, aku jadi semakin bodoh dengan jawaban yang terlontarkan, karena aku selalu melahirkan pertanyaan selanjutnya.
“Sebagai hamba, kita harus biasa khusnudzon pada-Nya, ada rahasia di balik semua itu.”, jawab salah seorang kawan dari negeri jauh di sana.
“Mengapa harus ada rahasia? Apakah karena kita hanya dituntut untuk mencari dan mengambil rahasia itu untuk diamalkan? Apakah hanya untuk di imankan? Apakah hanya sekedar seperti itu?”, tanyaku padanya.
Astaghfirullah…. Istighfar Lib…. istighfar…. Kamu sudah terlalu jauh dengan semua pertanyaanmu tadi. Sudahlah aku tak bisa menjawab.”, lantas kawan ku ini pergi meninggalkan ku yang terlarut dengan tanda tanya.
Kembali aku hadir ke alam jauh sana di seberang samudra lautan khayalan. Tak tampak perubahan yang berarti setelah aku duduk termangu dengan sejuta tanda tanya.
“Aku masih harus mencari jawaban yang berarti untuk perubahan.”, mantab ku dalam hati. “Tapi dimana jawaban itu?”, tanda tanya kembali yang hadir.
{<<<[]>>>}
Indah larik pelangi menyapa ku seusai hujan membuka hari, samar dirajut mega dengan keindahan nyata dari setiap manik-manik ciptaan Tuhan. Saat ini aku terduduk dalam keterasingan masih mencari jawaban dari semua pertanyaan yang menjejal di hati.
Di tengah ramainya lalu lalang lintas jalan di halte berwarna biru aku termangu melihat kenyataan yang ada.
“Mengapa pula orang-orang itu bersibuk di pagi hari melakukan pekerjaan?”, tanyaku dalam hati. “bukankah mereka telah dijamin rezekinya oleh Tuhan? Aku tahu rezeki itu harus dicari dan tak mungkin datang sendiri, tapi apakah harus dengan bekerja? Apakah harus menjadi seorang pegawai negri seperti mereka agar dapat bertahan hidup? Apakah harus dengan menjadi seorang pengemis? Apakah harus dengan cara mencopet, maling, merampok? Apakah harus dengan cara menindas?”, gelisah aku mencoba mencari jawaban di dinginnya pagi berlatar merahnya langit timur.
Langit masih menjatuhkan air matanya seperti kabut lembut yang menghias setiap panorama pemandangan. Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tapi tak seperti ini. Mengapa harus ada pertanyaan jikalau jawaban akan memahamkan? Mengapa pula harus ada jawaban jikalau semua terasa menyakitkan?
Aku tersenyum sendiri memikirkan itu, teringat sebuah lagu “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mungkin itu kan membuat tanda tanya lagi padaku dan melahirkan sejuta khayalan, “andai rumput dapat berbicara”, hahaha. Tiada yang mampu mengungkapkan, sungguh berat beban kepedihan, hanya Tuhan yang menjadi jawaban akan damai serta ketenangan.
Mentari mulai tampak sombong di ujung tombak dengan senyum sumringah menyingkirkan tangisan langit beserta kabut yang menghias kerinduan akan ketenangan. Mulai terasa bosan aku di sini dengan pertanyaan konyol yang hadir dari memandang orang-orang yang hilir mudik itu. Sudah saatnya aku pergi.
“Selamat tinggal halte biru yang terdiam.”, sapa ku tersenyum dan meninggalkan pertanyaan untuknya.
Dan ku ajak setiap hati
Dikala sedih melanda bangkit dari duka
Ingat senyummu ku terbasuh
Di tengah hidup berkelut mengharap berteduh
Satu persatu ku susun kepingan asa ku
Yang terjatuh*
{<<<[]>>>}
Senja menyapa malu di balik langit  yang beranjak kelam, melahirkan sorot merah di ufuk barat, dengan suara jangkrik merintih menangis kesepian. Temaram lampu jalanan menerangi redup pejalan kaki dan pengendara dengan tangisan hujan yang kembali hadir setelah pagi disapanya dengan hal yang sama.
Bangau-bangau sawah terbang di atas langit senja berjejer putih berjumlah tujuh berarak kembali pulang. “Dimana rumahnya?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu hadir dalam benakku. “Akan kemana unggas malam ini kan melangkah terbang jikalau gelap semakin merangkak?”, Aku menggeleng pelan sembari tersenyum kecut.
Suara adzan di surau-surau memanggil para hamba untuk tertunduk menghadap pada Sang Penciptanya. Dengan langkah gontai para petani tua berjalan menuju tempat panggilan adzan. Pakaian lusuh sedikit berbatik tanah berpegangkan payung menyincing sarung berjalan di atas lumpur dan air yang tergenang demi wujud kesetiaan cinta pada Yang Kuasa. Hanya untuk menyatakan, “sesungguhnya sholatku, segala ibadahku, segala pekerjaanku, hidup matiku, hanya untuk-Mu Tuhan ku.”
“Cinta…. Kesetiaan…. Kepercayaan…. Penghambaan…. Mungkin itu yang di harapkan.”, dengan tiba-tiba saja penjelasan itu hadir dari hatiku.
Malam sudah berjalan menutup sempurna senja, dan aku masih termangu menatap kelam dengan dendang pujian dari suara-surau, terdengar tua dan kuno tetapi menyimpan makna dalam bagi yang beriman.

Bintang malam kemanakah ia gerangan?
Tak sedikitpun ia meninggalkan jejak juga bayang…
Siang atau malam
Adakah rindu ini harus ku genggam,
Hingga esok hari ku jelang…?
Dalam gundah…
Ku masih menyimpan sejuta pertanyaan
                                                                X’beber, 22-11-2011

{<<<[]>>>}

‘Afsyah
Fransas, November 11


 Aku Sejuta Pertanyaan
Sejauh mata memandang, hamparan pasir putih berbuih menyapa mata dengan pesona silau beriring suara deburan ombak kejar mengejar menuju karang. Kicauan unggas laut terdengar samar tertelan nyanyian pantai dengan anginnya yang terasa keras menyambar kulit. Entah rasa apa yang menyapa hati sehingga menginginkan kaki melangkah mendekati tempat ini.
Lambaian daun kelapa di ujung kiri menari indah dengan pesona gembira menggerakkan setiap jari dari pelepahnya. Kepiting-kepiting kecil berlari keluar dari lobang mengejar panganan yang tersisa di antara buih-buih ombak di atas pasir, entah seperti apa makanan itu aku tak tahu, karena aku bukanlah seekor kepiting yang berlari miring.
Hendak dimulai dari mana kisah ini aku masih berfikir, sembari menatap biru garis cakrawala di tengah samudra dengan sejuta angan yang ada dalam benak dan fikiran.
“Ada apa di balik tanda kekuasan tuhan?”, Tanya ku dalam hati. “jikalau itu merupakan tanda supaya aku beribadah dan tunduk bersyukur pada-Nya, semua telah aku lakukan dengan sepenuh hati yang amat sangat mendalam, tapi pertanyaannya adalah apakah aku sudah termasuk kriteria yang di harapkan-Nya? Tanpa ku beribadah dan taat pada-Nya, Dia tidaklah rugi atau kurang. Ibadah ku jua pun tak membuat-Nya tambah.”, hatiku berdebat dengan fikirku yang melayang jauh ke sana.
Memang sulit menerka semua itu dengan apa yang terjadi pada hati kecil ini lewat semua fikiran-fikiran yang menurut ku bodoh seperti yang ku rasa. Sering ku tanyakan itu pada kawan yang tampak lebih dalam berfikir. Jawab mereka tak mengobati rasa bodoh itu dari diriku, aku jadi semakin bodoh dengan jawaban yang terlontarkan, karena aku selalu melahirkan pertanyaan selanjutnya.
“Sebagai hamba, kita harus biasa khusnudzon pada-Nya, ada rahasia di balik semua itu.”, jawab salah seorang kawan dari negeri jauh di sana.
“Mengapa harus ada rahasia? Apakah karena kita hanya dituntut untuk mencari dan mengambil rahasia itu untuk diamalkan? Apakah hanya untuk di imankan? Apakah hanya sekedar seperti itu?”, tanyaku padanya.
Astaghfirullah…. Istighfar Lib…. istighfar…. Kamu sudah terlalu jauh dengan semua pertanyaanmu tadi. Sudahlah aku tak bisa menjawab.”, lantas kawan ku ini pergi meninggalkan ku yang terlarut dengan tanda tanya.
Kembali aku hadir ke alam jauh sana di seberang samudra lautan khayalan. Tak tampak perubahan yang berarti setelah aku duduk termangu dengan sejuta tanda tanya.
“Aku masih harus mencari jawaban yang berarti untuk perubahan.”, mantab ku dalam hati. “Tapi dimana jawaban itu?”, tanda tanya kembali yang hadir.
{<<<[]>>>}
Indah larik pelangi menyapa ku seusai hujan membuka hari, samar dirajut mega dengan keindahan nyata dari setiap manik-manik ciptaan Tuhan. Saat ini aku terduduk dalam keterasingan masih mencari jawaban dari semua pertanyaan yang menjejal di hati.
Di tengah ramainya lalu lalang lintas jalan di halte berwarna biru aku termangu melihat kenyataan yang ada.
“Mengapa pula orang-orang itu bersibuk di pagi hari melakukan pekerjaan?”, tanyaku dalam hati. “bukankah mereka telah dijamin rezekinya oleh Tuhan? Aku tahu rezeki itu harus dicari dan tak mungkin datang sendiri, tapi apakah harus dengan bekerja? Apakah harus menjadi seorang pegawai negri seperti mereka agar dapat bertahan hidup? Apakah harus dengan menjadi seorang pengemis? Apakah harus dengan cara mencopet, maling, merampok? Apakah harus dengan cara menindas?”, gelisah aku mencoba mencari jawaban di dinginnya pagi berlatar merahnya langit timur.
Langit masih menjatuhkan air matanya seperti kabut lembut yang menghias setiap panorama pemandangan. Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tapi tak seperti ini. Mengapa harus ada pertanyaan jikalau jawaban akan memahamkan? Mengapa pula harus ada jawaban jikalau semua terasa menyakitkan?
Aku tersenyum sendiri memikirkan itu, teringat sebuah lagu “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mungkin itu kan membuat tanda tanya lagi padaku dan melahirkan sejuta khayalan, “andai rumput dapat berbicara”, hahaha. Tiada yang mampu mengungkapkan, sungguh berat beban kepedihan, hanya Tuhan yang menjadi jawaban akan damai serta ketenangan.
Mentari mulai tampak sombong di ujung tombak dengan senyum sumringah menyingkirkan tangisan langit beserta kabut yang menghias kerinduan akan ketenangan. Mulai terasa bosan aku di sini dengan pertanyaan konyol yang hadir dari memandang orang-orang yang hilir mudik itu. Sudah saatnya aku pergi.
“Selamat tinggal halte biru yang terdiam.”, sapa ku tersenyum dan meninggalkan pertanyaan untuknya.
Dan ku ajak setiap hati
Dikala sedih melanda bangkit dari duka
Ingat senyummu ku terbasuh
Di tengah hidup berkelut mengharap berteduh
Satu persatu ku susun kepingan asa ku
Yang terjatuh*
{<<<[]>>>}
Senja menyapa malu di balik langit  yang beranjak kelam, melahirkan sorot merah di ufuk barat, dengan suara jangkrik merintih menangis kesepian. Temaram lampu jalanan menerangi redup pejalan kaki dan pengendara dengan tangisan hujan yang kembali hadir setelah pagi disapanya dengan hal yang sama.
Bangau-bangau sawah terbang di atas langit senja berjejer putih berjumlah tujuh berarak kembali pulang. “Dimana rumahnya?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu hadir dalam benakku. “Akan kemana unggas malam ini kan melangkah terbang jikalau gelap semakin merangkak?”, Aku menggeleng pelan sembari tersenyum kecut.
Suara adzan di surau-surau memanggil para hamba untuk tertunduk menghadap pada Sang Penciptanya. Dengan langkah gontai para petani tua berjalan menuju tempat panggilan adzan. Pakaian lusuh sedikit berbatik tanah berpegangkan payung menyincing sarung berjalan di atas lumpur dan air yang tergenang demi wujud kesetiaan cinta pada Yang Kuasa. Hanya untuk menyatakan, “sesungguhnya sholatku, segala ibadahku, segala pekerjaanku, hidup matiku, hanya untuk-Mu Tuhan ku.”
“Cinta…. Kesetiaan…. Kepercayaan…. Penghambaan…. Mungkin itu yang di harapkan.”, dengan tiba-tiba saja penjelasan itu hadir dari hatiku.
Malam sudah berjalan menutup sempurna senja, dan aku masih termangu menatap kelam dengan dendang pujian dari suara-surau, terdengar tua dan kuno tetapi menyimpan makna dalam bagi yang beriman.

Bintang malam kemanakah ia gerangan?
Tak sedikitpun ia meninggalkan jejak juga bayang…
Siang atau malam
Adakah rindu ini harus ku genggam,
Hingga esok hari ku jelang…?
Dalam gundah…
Ku masih menyimpan sejuta pertanyaan
                                                                X’beber, 22-11-2011

{<<<[]>>>}

‘Afsyah
Fransas, November 11