Wednesday 12 December 2012

Sejarah Berdirinya Yayasan Al-Asy'ariyyah


PonPes Al-Asy'ariyyah 11 November 2011
     
Perpus Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah 12 Desember 2012


Yayasan Al-Asy'ariyyah yang berkantor pusat menyatu dengan Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah di Jalan KH. Asy’ari No. 9 berada di desa Kalibeber Kecamatan  Mojotengah  Kabupaten Wonosobo. Desa Kalibeber yang hampir 100 % penduduknya beragama Islam secara geografis berada di atas ketinggian  + 860 m dari permukaan laut (DPL) dan terletak pada Bujur Timur dan Lintang Selatan 12.15.07.02 dimana suhu rata-rata berkisar antara 200 C sampai 250 C, pada bulan Juli dan Agustus biasanya suhu tidak menetap bahkan bisa di bawah 200 C. Jarak desa Kalibeber dengan ibu kota kabupaten berjarak + 3 km dan tranportasi bisa dijangkau dengan mudah serta dilalui oleh angkutan kota. Luas tanah desa Kalibeber seluas 140.320 Ha dengan batas desa sebelah Utara desa Wonokromo, Selatan desa Kejiwan, Barat desa Sukorejo dan sebelah Timur desa Bumirejo dan Krasak.
Yayasan Al-Asy'ariyyah yang sekarang menjadi payung dari lembaga-lembaga di bawahnya seperti PPTQ Al-Asy'ariyyah, SLTP Takhassus Al-Qur'an, SMA Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur'an, Balai Pengobatan Hajah Maryam, Dewan Ekonomi Pesantren dan lain-lain, mempunyai sejarah perkembangan selama empat periode :
         
        Periode 1                Periode2                    Periode 3                   Periode 4


      K. Muntaha           KH. Abdurrohim           KH. Asy’ari             KH. Muntaha
     (1832-1859)              (1860-1916)                  (1917-1949)             (1950-2005)

Periode keempat Simbah KH. Muntaha, Alh. juga telah mempelopori berdirinya Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ) yang sebelumnya bernama Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), sebagai salah seorang pendiri perguruan tinggi yang ada di desa Kalibeber, Kecamatan  Mojotengah, Kabupaten Wonosobo.
Adapun sejarah figur masing-masing periode sebagai berikut :
  1. 1.      Periode Pertama, K. Muntaha (1832 – 1859)
Pada tahun 1839 P. Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang dan melucuti para pengawalnya. Di antara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah R. Hadiwiyaja dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida Muhammad. Pada tahun 1832 Kyai Muntaha I tiba di desa Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan garung. Beliau diterima oleh Mbah Glondong Jogomenggolo. Atas petunjuk Mbah Glondong Jogomenggolo, beliau mendirikan masjid dan padepokan santri di dusun Karangsari Ngebrak Kalibeber, di pinggir Sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga Kyai.
Di tempat ini beliau mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Al-Qur'an, tauhid dan Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur masyarakat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam atas kesadaran mereka sendiri. Mereka meninggalkan adat istiadat buruknya seperti berjudi, menyabung ayam, minum khamer dan lain-lain. Karena padepokan santri lama kelamaan tidak mampu menampung arus santri dan terkena banjir Sungai Prupuk, maka kegiatan pesantren dipindahkan ke tempat yang sekarang dinamai Kauman Kalibeber. Masyarakat yang tinggal di sekitar padepokan baru yang tidak mau secara sukarela memeluk Islam, atas kemauan mereka sendiri banyak yang meninggalkan kampung itu. Daerah selatan pesantren yang semula dihuni oleh Cina akhirnya ditinggalkan penghuninya, dan nama Gang Pecinan sampai sekarang masih dilestarikan. Kyai Muntaha bin Nida Muhammad wafat pada tahun 1860, setelah 28 tahun memimpin pesantren. Beliau digantikan oleh putranya, KH. Abdurrahim bin K. Muntaha.

  1. 2.      Periode Kedua, KH. Abdurrahim (1860 – 1916)
Mulai tahun 1860, KH. Abdurrahim bin K. Muntaha menerima estafet tugas mulia memimpin pesantren dari ayahandanya. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuanan menyiarkan Islam dan memimpin pesantren. Beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren K. Abdullah Jetis Parakan Kabupaten Temanggung, bahkan beliau dijadikan menantunya. Di bawah asuhan KH. Abdurrahim pesantren semakin maju. Beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan peninggalan ayahandanya. Bertepatan dengan tanggal 3 Syawal 1337 Hijriyah atau 1916 Masehi, KH. Abdurrahim dipanggil Yang Maha Kuasa dan dimakamkan di bekas komplek Pondok Karangsari Ngebrak. Sepeninggal beliau, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya, KH. Asy’ari bin KH. Abdurrahim.
  1. 3.      Periode Ketiga, KH. Asy’ari (1917 – 1949)
KH. Asy’ari yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Somalangu Kebumen dan Tremas Pacitan, meneruskan kepemimpinan ayahandanya. Pada masa itu Indonesia tengah melahirkan gerakan-gerakan nasional baik yang berdasar agama maapun kebangsaan. Pada tahun-tahun terakhir hidup beliau, Indonesia sedang gigih-gigihnya menentang kedatangan kembali penjajah Belanda, oleh karena itu pesantren mengalami masa surut. Sebagian santrinya ikut dalam gerilya melawan penjajah. Pada aksi polisionil ke II itu, Belanda menyerang wilayah Wonosobo, bahkan samapi desa Dero Ngisor, + 5 km dari desa Kalibeber ke sebelah barat. Sementara itu KH. Asy’ari dalam usia setua itu terpaksa mengungsi ke desa Dero Nduwur + 8 km dari desa Kalibeber. Ternyata Belanda tidak berani meneruskan pengejaran ulama ini sampai ke tempat pengungsian. Dalam pada itu beliau sedang sakit keras yang kemudian wafat dalam pengungsian, dan dimakamkan di sana 13 Zulhijjah 1371 / 1949 M.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa wafatnya KH. Asy’ari telah menyiapkan putra-putranya untuk kaderisasi kepemimpinannya. Seluruh putranya dikirim ke berbagai pondok pesantren. Satu diantara putranya adalah KH. Muntaha bin KH. Asy’ari.
  1. 4.      Periode Keempat, KH. Muntaha (1950 – )
    1. a.       Riwayat Pendidikan
Beliau dikirim untuk belajar di Madrasah Darul Ma’arif Banjarnegara di bawah asuhan Kyai Fadlullah dari Singapura. Kemudian beliau melanjutkan belajar Tahfidzul Qur’an sampai hafal di Kaliwungu Kendal, di bawah asuhan KH. Utsman. Setelah hafal Al-Qur'an, beliau memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur'an di hadapan Mbah KH. Munawir Krapyak Yogyakarta, dan terakhir di hadapan KH. Dimyati Tremas Jawa Timur.
  1. b.      Perjuangan Fisik
Pada waktu Indonesia memerlukan putra-putranya terjun ke dalam perjuangan fisik melawan penjajah, KH. Muntaha tidak ketinggalan. Sebelum terbentuknya pasukan Hisbullah, Sabilillah Mujahidin dan lain-lain, beliau telah membentuk dan menjadi Komandan BMT (Barisan Muslim Temanggung), karena saat itu beliau ada di Temanggung. Di sinilah beliau bertemu dengan H. Munawwir Syadzali, MA yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.
  1. c.       Perjuangan Politik
            Tahun 1959, di samping sebagai pejabat pada kantor Departemen Agama Kabupaten Wonosobo, KH. Muntaha diangkat sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia di Bandung, mewakili NU Jawa Tengah. Beliau aktif sampai akhirnya majlis dibubarkan 5 Juli 1959. selanjutnya hampir setiap periode kepengurusan NU Cabang Wonosobo beliau menduduki Syuriyyah dan kemudian Mustasyar.
Setelah NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 pada Mu’tamar yang ke-27 di Situbondo Jawa Timur 1984, orientasi politik beliau sengaja direvisi. Dari berbagai pengalaman perjuangan fisik dan politik, akhirnya beliau simpulkan bahwa perjuangan yang relevan dengan tujuan strategis global untuk memajukan ummat Islam dan Li i’laa-i kalimatillah adalah lewat pendidikan dan mempererat kerjasama dengan pemerintah. Hal ini beliau buktikan dengan berbagai aktivitas dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
  1. d.      Perjuangan dalam Pendidikan
Dalam mengelola pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem salafiyah, beliau menambah dan mendampingi dengan mendirikan sekolah-sekolah formal. Pada tahun 1960 beliau mendirikan TK / Raudlatul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Kalibeber. Kemudian tahun 1962 didirikan pula Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Ma’arif yang menempati komplek pondok pesantren dan tahun 1967 lembaga pendidikan tersebut dinegerikan, sedang Aliyahnya tahun 1968. setelah 10 tahun menempati komplek pesantren kedua lembaga itu dipindahkan. MTs-nya dipindah ke dusun Ngebrak dan Aliyahnya ke desa Krasak. Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di masyarakat, beliau mendirikan Yayasan. Di antara yayasan yang langsung khidmah ummah ialah Yayasan Aswaja Baiturrahim dengan Akte Notaris Nomor 27 tahun 1980, yang kemudian diubah menjadi Yayasan Al-Asy'ariyyah dengan Akte Notaris Nomor 78 tanggal 27 Februari 1989.



  1. 5.      Periode ke-Lima (sekarang)  KH. ACHMAD FAQIH MUNTAHA
Beliau adalah putra sulung KH.Muntaha Alh dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil dengan Abah Faqih. Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ;
  1. H. Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I
  2. H. Khairullah Al-Mujtaba, Alh
  3. Siti Marliyah
  4. Nuruzzaman
  5. Fadlurrohman Al-Faqih
  6. Ahmad Isbat Caesar
Putra-putri beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal, baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri
  1. 1.      Riwayat Pendidikan
Beliau menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH. Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di wonosobo setelah selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren termas Pacitan dibawah asuhan KH. Chabib Dimyati, sampai tahun 1978. kemudian beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum (juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1 tahun. Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan  Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau pulang keKalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Belum genap satu tahun beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang  santri kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah dimyati di Kaliwiro selama kurang lebih satu tahun. Ketika di kliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz(Alm). Selama masa nyantri tersebut beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik.

  1. 2.      Perjuangan Pendidikan
Setelah pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem salafy.  Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab "Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan antaralain adalah : Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. quraisyin. Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang UNSIQ). Beliau juga meneruska cita-cita ayahanda beliau yang belum terrealisir diantaranya : SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus  Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia. Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk islam diseantereo Nusantara.

  1. 3.      Perjuangan Organisasi
Dalam bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan di Wonosobo beliau termasuk salah satu Kiyai yang paling disegani.
   
   Dewan Pengurus Yayasan Al-Asy'ariyyah

Dewan Pendiri/Pembina :
KH. Muntaha, Alh                   
KH. Mustahal Asy’ari             
KH. Ibnu Jauzi                        
KH. Faqih Muntaha                 
Dewan Pengawas :
KH. Habibullah Idris
K. Chozin Chams, BA.
Drs. H. Ihwan Qomari, M.Ag.
H. Sukardi
H. Mustangin, S.Pd.
H. Abdurrohman, S.Ag. Alh.
Nur Kholis
Badan Pengurus :
Ketua Umum                          : Drs. H. Mukhotob Hamzah, MM.
Ketua I                                   :  KH. Miftah Idris, SH
Ketua II                                  :  Drs. H. Muhammad Hafidz
Ketua III                                 :  H. As’ad Alh
Ketua IV                                : K. Abdul Aziz
Sekretaris                              :  Wajihudin Al-Antaqi, Alh, S.Ag
Wakil Sekretaris                     :  H. Hafidz Ahmad
Bendahara                              :  Muhammad Maftuh
Wakil Bendahara                     :  M. Syaifuddin



Tujuan Pendirian Yayasan Al-Asy'ariyyah :

  1. Terciptanya individu mukmin yang bertaqwa kepada Allah SWT. (QS. 3 : 102).
  2. Terciptanya ‘ailah yang thayyibah jauh dari adzab neraka (QS. 66 : 6).
  3. Terciptanya baldatun thayyibatun warabbun ghofur (QS. 34 : 15).
  4. Terlaksananya ajaran Al-Qur'an yang disertai dengan penghayatan dan pengamalan dari seluruh ummat Islam Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
  5. Membina kesadaran dan tanggung jawab dalam beragama sebagai salah satu aspek pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
  6. Mengusahakan terwujudnya sikap wasathiyah kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an (QS. 2 : 134).
  7. Menciptakan Ukhuwah Islamiyah dan Wahdatul Ummah serta menggalang kerjasama dan kejujuran watak dalam berbakti kepada agama Islam, nusa dan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.

      Pengabdian KH. Muntaha al-Hafidz (periode keempat) terhadap Sang Kholik Penguasa Jagad Raya melalui kiprahnya sudah diakui umat muslimin di Indonesia. Perjuanan dalam membawa nama harum bangsa terhadap dunia internasional melalui karyanya sudah tidak asing lagi. Sejarah berdirinya Museum Baitul Qur’an di Jakarta tidak terlepas dari sejarah terwujudnya mushaf Al-Qur'an terbesar di dunia saat ini.

Pada hari Selasa tanggal 5 Juli 1994, sebuah Karya Besar Produk Pesantren Al-Asy'ariyyah berupa “Al-Qur'an Akbar” diserahkan kepada Presiden RI (Presiden Soeharto pada saat itu) di Bhina Graha Jakarta, yang disaksikan oleh Menteri Penerangan H. Harmoko, Menteri Agama Tarmidzi Tahir, Gubernur Jawa Tengah Soewardi, Wakil Ketua MUI Ali Yafie, dan Bupati Wonosobo saat itu Drs. H. Soemadi.

Al-Qur'an Akbar dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2 m atau           2 x 3 m bila dibuka, memuat 30 juz atau 605 halaman serta beratnya mencapai 165 kg, sehingga diperlukan 8 orang untuk mengangkatnya, (Koran Republika,      8 Juli 1994, halaman 9 – pernah menulis bahwa beratnya adalah 3 kuintal, bingkainya dibuat dari kayu Jati dengan penguat mushaf dari besi tahan karat dengan tebal Al-Qur'an tersebut 10,5 cm yang disimpan dalam almari kayu Jati dan rehal dari kayu Jati pula). Al-Qur'an tersebut ditulis oleh dua santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah, H. Khayatuddin dan H. Abdul Malik, mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Kalibeber saat itu. Penulisan diselesaikan selama kurang lebih 17 bulan, mulai 16 Oktober 1991 hingga 5 Februari 1993 dengan menghabiskan dana + 35 juta rupiah.

Ustadz Hayatudin sedang menulis Al-Qur'an Akbar


Ide Dasar Al-Qur'an Akbar


Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah merupakan pesantren terbesar di Wonosobo yang memiliki kurang lebih 3.000 santri putra dan putri. Para santri banyak yang mendalami tentang Al-Qur'an di samping ilmu agama lainnya. Pesantren ini menyelenggarakan program rutin tiap tahun yaitu Khotmil Qur’an yang hampir tiap tahun rata-rata menelorkan wisudawan-wisudawati hafal         Al-Qur'an 30 Juz, 20 sampai 25 santri yang biasanya dihadiri oleh mubaligh kondang dan pejabat teras.

Salah satu pejabat tinggi yang hadir pada saat Khotmil Qur’an sebelum memulai penulisan Mushaf Al-Qur'an Akbar adalah Menteri Penerangan ketika itu dijabat oleh H. Harmoko. Dalam perbincangan Menteri Penerangan dengan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah yang pada saat itu KH. Muntaha al-Hafidz menyampaikan idenya untuk membuat Al-Qur'an Akbar, selanjutnya niatan mulia tersebut direspom oleh Menteri Agama dengan baik, maka dalam beberapa bulan kemudian dikirm kertas berukuran 1,5 x 2 meter, jenis Art Paper sebanyak 1.000 (seribu) lembar.

Adapun yang ditunjuk menangani karya besar itu adalah 2 (dua) orang santrinya yang dipandang mampu dan mempunyai keahlian khusus, Khayatuddin (28 tahun saat itu) sebagai penulis, dan Abdul Malik (27 tahun) sebagai pelukis / ornamen, selain itu dibantu tim pentasih atau pemeriksa, Waros al-Hafidz. Selama penulisan Al-Qur'an keduanya melakukan dalail atau puasa tiap hari selama tiga tahun (Kecuali hari-hari Tasyrik atau hari yang dilarang puasa). Sholat dua rakaat pun mereka lakukan sebelum menulis untuk menjaga agar tetap suci dari hadats besar maupun kecil. Penulisan dilakukan pada pagi hari pukul 07.30 hingga pukul 12.00 siang dan setelah itu mereka berhenti untuk mengikuti kuliah di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ), keduanya memang tercatat sebagai mahasiswa IIQ Fakultas Tarbiyah ketika itu. Penulisan dilanjutkan kembali setelah sholat Isya’ pukul 19.30 hingga 20.30 setiap harinya.

Alat tulis yang dipakai adalah pena yang dirancang sendiri dari Bambu Aur (Pring Wulung = Bahasa Jawa) sebab setelah mereka mencari pena ke Surabaya dan Jakarta tidak menjumpai alat tulis yang bisa menghasilkan tulisan setebal 1 cm. Tinta yang dipakai adalah tinta adonan sendiri yakni tinta Cina yang dicampur dengan air teh sebagai bahan pengawet agar bisa tahan berpuluh-puluh tahun, sementara untuk tempat tinta, mereka menggunakan mangkok dari tanah liat. Terbukti dengan menggunakan pena dari bambu tersebut, goresan yang dihasilkan lebih rapi dan bersih dibandingkan dengan tinta-tinta lainnya. Simbah KH. Muntaha pun terus mengawasi selama dalam proses penulisan.

Selama penulisan menghabiskan 3 (tiga) Pena Bambu, 500 (lima ratus) Spidol, 15 kg tinta hijau dan emas serta 15 botol tinta ukuran minuman plastik sedang, atau tinta full colour yang dipakai untuk hiasan Surah Al-Fatihah dan tulisan Alif Lam Mim.

Selama proses pembuatan sering dikunjungi tamu dan turis dari dalam maupun luar negeri, mereka datang bermaksud untuk melihat dari dekat penulisan, bahkan Bapak Bupati Drs. H. Soemadi sering hadir untuk memberikan dorongan dan semangat kedua santri itu.

Tujuan pembuatan Al-Qur'an Akbar menurut KH. Muntaha al-Hafidz adalah untuk mengenang kembali Karya Besar KH. Abdurrahim Almarhum (Periode II) berupa Al-Qur'an tulisan tangan yang ditulis di atas kapal laut pada saat melakukan ibadah haji dan Al-Qur'an tersebut telah musnah dibakat oleh Kompeni Belanda.

Tepat pada tanggal 5 Februari 1993 Al-Qur'an Akbar itu dapat diselesaikan dan Menteri Penerangan (H. Harmoko) saat itu secara simbolis membubuhkan huruf Sin terakhir pada Mushaf besar produk Al-Asy'ariyyah itu. “Saya terharu kepada Khayatuddin dan Abdul Malik, meskipun penulisannya memakai alat tradisional, namun hasilnya modern dan saya cuma mengamini saja”, kata Menteri Penerangan saat itu.

Menurut Menteri Agama RI, Tarmidzi Tahir, pada saat penyerahan Al-Qur'an itu berlangsung di Bina Graha Jakarta, mengatakan bahwa pemerintah akan membangun Baitul Qur’an untuk menyimpan Al-Qur'an Akbar tersebut serta untuk koleksi Al-Qur'an lainnya, baik yang berbentuk laser disk maupun yang tersimpan dalam komputer.

Meneruskan eksistensi Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah, KH. Muntaha al-Hafidz, pada tahun 2002 juga sedang membangun menara masjid Baiturrahim (Komplek Pesantren) setinggi 30 meter yang rencana akan menelan dana sebesar Rp. 1.716.500.000,00. Tepatnya dimulai pembangunannya dengan peletakan batu pertama oleh KH. Muntaha pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 September 2002 pukul 06.00 WIB.

Menurut KH. Muntaha al-Hafidz, menara masjid tersebut adalah cita-cita yang pernah disampaikan oleh KH. Asy’ari almarhum (Periode III atau bapak dari KH. Muntaha al-Hafidz) yang niatnya tersebut diwujudkan oleh KH. Muntaha al-Hafidz dan KH. Faqih Muntaha Al-Hafidz, di mana letak menara masjid tersebut tepat berdampingan di sebelah utara Masjid Baiturrahim atau di sebelah selatan Pondok Putri.

No comments:

Post a Comment