Sunday 15 September 2013

SEKITAR PENGGALIAN KUBURAN MASSAL DI WONOSOBO

Ilustrasi Gambar Penemuan Kuburan Massal

Sejak berdirinya Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65/66 (YPKP 65/66) 
dalam bulan April 1999 di Jakarta, penggalian kuburan massal di hutan 
Situkup (desa Dempes, kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo) 18 kilometer 
dari Wonosobo, Jawa Tengah merupakan salah satu di antara serentetan 
kegiatan-kegiatan penting yang sudah dilakukan oleh YPKP. 
Penggalian kuburan massal di hutan Situkup ini, yang dilakukan selama tiga 
hari (tanggal 16, 17 dan 18 November 2000) adalah pelaksanaan sebagian dari 
salah satu program (program penelitian forensic) diantara tiga program 
penelitian utama Departemen Penelitian YPKP. Tiga program penelitian utama 
tersebut adalah : pertama, Penelitian Dasar yang bertujuan antara lain untuk 
mengungkap jumlah korban pembunuhan, penyiksaan, penahanan dan pelanggaran 
HAM; kedua, Penelitian kasus yang bertujuan untuk mengungkap berbagai 
pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran HAM yang bersifat khusus (sangat 
diluar perikemanusiaan); dan yang ketiga, Penelitian forensic, yang 
dilakukan dengan pembongkaran kuburan massal dalam rangka pembuktian secara 
forensic atas korban pembunuhan 65-66. 

Ketiga program tersebut secara keseluruhan bertujuan untuk memberikan 
sumbangan kepada usaha mencari kebenaran sejarah, terutama yang berkaitan 
dengan pembunuhan massal 65/66. Usaha mencari kebenaran sejarah tentang 
pembunuhan 65/66 ini dianggap penting oleh YPKP, karena selama puluhan tahun 
pemerintahan Orde Baru masalah ini telah dijadikan tabu untuk dibicarakan 
secara terbuka dalam masyarakat, dan di samping itu juga telah terjadi 
pemalsuan dan penggelapan tentang berbagai fakta sejarah. 

Ketua YPKP, Ibu Sulami (74 tahun), dalam berbagai kesempatan telah 
menjelaskan kepada umum bahwa penelitian mengenai pembunuhan 65/66 adalah 
untuk menegakkan perasaan keadilan bagi anggota keluarga para korban yang 
jumlahnya amat besar. Penegakan perasaan keadilan lewat pencarian kebenaran 
sejarah adalah dengan tujuan akhir untuk menciptakan rekonsiliasi nasional, 
yang dibutuhkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. 

Juga mengenai penggalian kuburan massal di Wonosobo ini, ditekankannya bahwa 
tujuannya adalah semata-mata dengan pertimbangan kemanusiaan. Sebab, 
berdasarkan data yang ada di Departemen Penelitian YPKP diketahui bahwa di 
hutan dekat Wonosobo itu terdapat kuburan massal, dan juga ada keluarga para 
korban yang mencari-cari orangtua atau sanak saudara mereka yang hilang 
tanpa diketahui di mana kuburannya. Jadi, sama sekali tidak ada maksud untuk 
mengungkap luka lama atau menggugah dendam. 


LANGKAH-LANGKAH SEBELUM PENGGALIAN KUBURAN 

Projek penggalian kuburan massal dekat Wonosobo ini dikoordinir oleh sdr 
Ester Jusuf SH, Kepala Departemen Hukum YPKP dan didampingi satu team 
forensik yang dipimpin oleh Dr Handoko dari Fakultas Kedokteran Universitas 
Indonesia. 

YPKP telah memberitahukan rencana penggalian kuburan massal ini kepada 
Komnas HAM di Jakarta. Kerjasama dengan Komnas HAM ini telah sangat membantu 
dalam memperoleh ijin dan bantuan dari berbagai instansi pemerintahan daerah 
(kabupaten, instansi militer dan kepolisian setempat). Bantuan dari fihak 
aparat pemerintah telah termanifestasikan dengan ditugaskannya 12 orang 
(terdiri dari unsur Kodim, Direktorat Sospol, dan kepolisian) untuk mengatur 
keamanan jalannya penggalian yang berlangsung selama tiga hari itu. 
Kontak-kontak yang dilakukan oleh YPKP dengan berbagai fihak juga telah 
menghasilkan adanya kerjasama dengan Banser dan Satgas PDI-P di wilayah 
tersebut. Untuk menjaga keamanan telah diperbantukan lebih dari 15 orang 
anggota Banser dan 15 anggota Satgas PDI-P. Itu semua menunjukkan bahwa 
penggalian kuburan massal di Wonosobo ini telah mendapat bantuan dari 
berbagai fihak. 

Dengan adanya bantuan dari berbagai fihak (Komnas Ham dll) dan juga 
kerjasama dengan fihak pemerintah daerah, maka penggalian kuburan massal di 
Wonosobo ini berlangsung dalam suasana yang jauh berlainan dengan penggalian 
kuburan yang pertama kali dilakukan di Blora beberapa tahun yang lalu. 
Penggalian di Blora telah dilakukan sebelum YPKP berdiri dan berlangsung 
dalam keadaan sulit (karena Orde Baru masih berkuasa) dan secara 
"sembunyi-sembunyi", sedangkan yang di Wonosobo dilakukan secara terbuka. 
Oleh karena itu, YPKP menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada 
Pemerintah Daerah Wonosobo dan Komnas HAM. 


PENEMUAN YANG MELAMPAUI JUMLAH YANG DI PERKIRAKAN
 
Penggalian kuburan massal selama tiga hari itu merupakan langkah pertama dan 
penting dalam usaha bersama untuk membuktikan bahwa dalam tahun 65/66 telah 
terjadi pembunuhan besar-besaran dan secara sewenang-wenang terhadap 
sejumlah warganegara Indonesia yang tidak bersalah. Menurut keterangan Dr 
Handoko (yang memimpin team forensik), dari proyektil-proyektil yang 
ditemukan pada kerangka yang digali bisa ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan 
ini dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang dan laras pendek 
yang diduga hanya dimiliki oleh militer. 
Pada hari pertama, di bawah curahan hujan yang lebat, oleh para penggali 
telah ditemukan 7 kerangka. Di antaranya terdapat kerangka seorang 
perempuan, yang bisa di-identifikasi dari gigi bagian depan yang 
di-"pangur" (diratakan), sisir warna merah dari plastik, dan semacam 
selendang sutera yang melilit pada kerangka leher. 
Pada hari kedua, dengan disaksikan oleh penduduk yang datang 
berbondong-bondong dari berbagai kota-kota yang jauh, ditemukan 10 kerangka 
lagi. Di antaranya ada kerangka yang jari-jariya memakai cincin kawin yang 
dihiasi dengan huruf SUDJIJEM dan bertanggal 28-6-1965. Ini berarti bahwa 
pemilik cincin kawin ini telah ditembak tidak lama setelah ia menikah. Jadi, 
sampai pada hari kedua yang juga selalu diguyur hujan itu, telah ditemukan 
17 kerangka. 

Menurut data yang ada di Departemen Penelitian YPKP, di lokasi itu 
diperkirakan terdapat 21 korban pembunuhan. Jadi, pada hari ketiga 
diperkirakan akan ditemukan sisanya sebanyak 4 kerangka lainnya lagi. 
Tetapi, ternyata kemudian bahwa pada hari itu telah ditemukan tambahan 7 
kerangka lainnya. Ini berarti bahwa, selama tiga hari penggalian telah 
ditemukan sebanyak 24 kerangka dan diperkirakan masih ada lagi kerangka yang 
lain, karena masih banyak bidang-bidang tanah sekitarnya yang belum sempat 
tersentuh oleh cangkul atau sekop. Dapat dipastikan bahwa jumlah korban 
adalah melebihi dari jumlah perkiraan semula yakni 21 orang korban. 
Mengingat penggalian itu sudah berlangsung tiga hari, dan karena 
keterbatasan faktor beaya maka penggalian dihentikan pada petang hari 
ketiga (tanggal 18 November). Diharapkan penggalian dapat diteruskan setelah 
kondisi dan persyaratan-persyaratan lain yang diperlukan dapat dipenuhi. 


ARTI PENTING BAGI SEJARAH 

Dengan persetujuan berbagai instansi pemerintah daerah, lokasi penggalian 
kuburan massal ini untuk sementara ditutup untuk umum. Sebagai pengamanan 
telah dibuatkan pagar dan dikunci dengan rantai yang digembok. Kunci telah 
diserahkan oleh panitia kepada pemerintah setempat (Wakil Bupati Wonosobo). 
Penggalian kuburan massal di desa Dempes, yang dilaksanakan dengan bantuan 
ahli forensik Dr Handoko ini, telah menarik perhatian banyak orang, termasuk 
dari kalangan pers. Mengingat pentingnya peristiwa ini bagi penegakan 
kebenaran sejarah, maka bagian-bagian penting proses penggalian dan 
hasil-hasilnya telah diabadikan dengan foto dan film. 
Dengan tersiarnya berita tentang penggalian kuburan massal ini, maka 
berbagai reaksi positif dan pernyataan simpati yang mencerminkan dukungan, 
telah diterima oleh YPKP. 

Badan internasional Asian Human Rights Commission telah mengeluarkan seruan 
"urgent action" kepada publik internasional untuk menuntut kepada 
pemerintah Indonesia (Presiden Abdurrahman Wahid) dan Komnas Ham supaya 
diadakan pengusutan terhadap pembunuhan massal tahun 65/66 yang diperkirakan 
telah merenggut jiwa lebih dari satu juta orang. 

Dalam suasana untuk mencari kebenaran sejarah dan menegakkan keadilan lewat 
penelitian ini, YPKP menyambut gembira pernyataan pimpinan wilayah Gerakan 
Pemuda Ansor Daerah Istimewa Yogya yang mengungkap bahwa GP Ansor (DIY) 
telah membentuk tim investigasi untuk meluruskan sejarah tragedi 1965. Dalam 
pernyataan itu dikemukakan bahwa disangkutkannya warga NU, khususnya 
Banser, dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI hanyalah dimanfaatkan dan 
dijadikan alat oleh militer untuk kepentingan militer waktu itu. 

Dalam pernyataan Ketua GP Ansor, Drs H. Nurudidin Amin kepada redaksi Bernas 
tanggal 21 November ditegaskan bahwa organisasinya bertekad dan 
berkepentingan untuk meluruskan sejarah mengenai tragedi tersebut, dan 
menyampaikan permintaan ma'af kepada para keluarga korban tragedi 1965 itu. 
Menurutnya, di mana pun posisi Banser saat itu, pembunuhan adalah 
pelanggaran HAM dan itu merupakan dosa, dan karenanya, selaku keluarga besar 
GP Ansor dan Banser menyatakan permintaan maaf setulus-tulusnya. 


LANGKAH PERMULAAN PERJALANAN PANJANG 

Berkat bantuan dari berbagai fihak, penggalian kuburan massal di Wonosobo 
telah bisa dilaksanakan dengan lancar dan dengan hasil yang memuaskan. 
Namun, langkah ini barulah merupakan langkah permulaan dari perjalanan yang 
cukup panjang untuk menegakkan kebenaran sejarah sekitar pembunuhan massal 
65/66. Sebab, pembunuhan yang serupa di desa Dempes (Wonosobo) ini juga 
terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di Indonesia. 

Penelitian sejarah tentang peristiwa yang menyedihkan ini memerlukan waktu 
yang cukup panjang, beaya yang tidak sedikit, dan kerjasama yang tulus dari 
banyak fihak. Dengan semangat untuk mencari penyelesaian yang adil demi 
kerukunan antar berbagai komponen bangsa, maka YPKP berharap untuk bisa 
meneruskan tugasnya, dengan mengatasi berbagai kesulitan. 

Kunjungan Nyonya Danielle Mitterra nd (istri almarhum Mantan Presiden 
Prancis Fran_ois Mitterrand) ke Indonesia akhir Agustus sampai 4 September 
yang lalu, untuk memenuhi undangan YPKP dalam rangka kerjasama di bidang 
penelitian pembunuhan 65/66 adalah manifestasi bahwa yayasannya menaruh 
perhatian dan simpati terhadap masalah yang penting di bidang hak asasi 
manusia ini. Selama kunjungan di Jakarta dan Yogyakarta, beliau telah 
bertemu dengan berbagai pejabat tinggi pemerintahan dan juga dengan banyak 
LSM untuk mempersoalkan pentingnya penelitian tentang pembunuhan 65/66 dan 
juga nasib para eks-tapol beserta keluarga mereka. Pertemuan beliau di 
berbagai tempat dengan para eks-tapol beserta para keluarga mereka itu telah 
merupakan dorongan bagi banyak orang untuk meneruskan perjuangan dalam 
membela hak asasi manusia. 


SAKITNYA IBU SULAMI 

Ketua Umum YPKP, Ibu Sulami, dewasa ini sedang dirawat di rumahsakit Cikini 
(Jakarta) karena menderita sakit agak berat. Menurut keterangan para petugas 
YPKP, sakitnya ini adalah akibat dari bertumpuk-tumpuknya kelelahan yang 
disebabkan oleh kerja keras berhari-hari sebelum dan selama penggalian 
kuburan di Wonosobo. Tanpa kenal lelah dan tanpa menghiraukan hujan lebat, 
ia berkeras untuk selalu mengikuti dari dekat proses penggalian kuburan. 
Karena berbagai sebab, antara lain emosi yang meluap-luap dengan 
ditemukannya 17 kerangka, maka ia kemudian jatuh sakit. Mula-mula Ibu 
Sulami dirawat di rumahsakit Wonosobo, tetapi kemudian dipindahkan ke 
Jakarta demi perawatan yang lebih baik. Sejak terdengarnya berita tentang 
sakitnya Ibu Sulami ini, kantor YPKP terus dibanjiri setiap hari oleh 
berbagai pernyataan simpati, baik yang datang dari dalamnegeri maupun 
luarnegeri. Sumbangan keuangan untuk pengobatannya pun mulai diterima dari 
berbagai fihak. Sumbangan ini merupakan bantuan besar untuk meringankan 
beban YPKP yang sekarang ini masih terpaksa bekerja dengan sulit karena 
kecilnya dana. 

 
Amanat dari Om http://herilatief.wordpress.com/ untuk disebarkan.
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/

2 comments:

  1. Semoga lancar dan kebenarannya segera diketemukan ya Mas Damar.

    Dan untuk Bu Sulami, semoga segera di beri kesembuhan.

    Salam..

    ReplyDelete