Sunday, 2 December 2012

Tanpa Mu




“Aaaaarrght…”, jerit hatiku yang tak tersampaikan kepada mulut untuk berteriak.
Entah dari mana lagi aku ingin menulis kata? Mungkin lebih tepatnya adalah mengetik kalimat. Ujung pena telah terangkat dari lembaran kertas, tinta pun mengering dan aku belum sempat menulis sebuah nama pada hati yang ada dalam tubuh ini.
Perjalanan hidup memang sudah digariskan oleh-Nya. Adakalanya aku berfikir tentang apa itu hidup? Bagaimana aku menjalaninya? Untuk apa aku hidup? Akan kemana setelah aku meninggalkan hidup? Langkah apa yang akan mengiringi perjalanan kehidupanku? Semua selalu hadir dalam fikiran dan menjadi kegelisahan pengantar tidurku.
Aku pernah menulis sajak tentang rasa takutku akan kematian. Sajak itu tak pernah mengobati rasa takutku yang berkepanjangan. Aku juga pernah menulis sajak tentang percintaan. Sajak itu seperti baru saja tersiram air hujan lalu masuk dalam wadah yang berisi bensin dan aku membuang putung rokok menyala kedalamnya. Kejam sekali !
Mungkin kalian pernah menulis perjalanan hidup atau sekedar membayangkannya sebagai fenomena ghaib yang akan terjadi mendatang yang seolah-olah kalian telah merencang dan akan mendapat buah hasilnya. Aku pun sama seperti itu, merancang kehidupan dimasa yang akan datang walau lewat fikiran, lalu ku tentukan kemana aku kan melangkah serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi nanti jika aku salah dalam melangkahkan kaki.
“Huuuft !!!!”, nafasku keluar dari rongga dada yang dalam.
Ku pandangi gambar yang ada di depanku, bertuliskan “Hidup itu seperti sebatang rokok men !!! Antara membunuh atau dibunuh”. Mungkin kalin bertanya apa maksud dari tulisan itu? Entahlah aku juga tak tahu, aku hanya menulisnya setelah aku menghisap rokok yang ada di tanganku pada waktu aku menulisnya. Jika kalian menayankan bagaimana bisa aku melahirkan kata-kata itu? Semua akan ku jawab dengan gambar serupa, sebab otak manusia melebihi otak hewan. Kalian tentu paham !
Sekarang aku menghadap langit-langit kamar, sambil tidur-tiduran aku melihat sarang laba-laba hitam kecil. Tubuhnya tak seberapa, mungkin sebesar huruf “A” dalam font Times New Roman dalam Microsoft Word Notebook kalian.
Pernahkah kalian berfikir bagaimana laba-laba itu mencari makan? Ya… mereka mendapat makan setelah mereka membangun rumah mereka. Bukan itu jawaban yang saya inginkan. Mereka makan setelah mereka bekerja, itulah jawaban yang aku inginkan. Jika dari kalian menyangkal “Tak selamanya orang makan itu kerja, nyatanya saya tidak kerja saya diantar makanan oleh teman saya yang baru saja datang dari luar kota”. Kalau boleh saya menyangkal, “Apakah teman kalian akan mengantar makanan seperti itu setiap kalian merasa lapar dan ingin makan?” jawaban itu ada dalam hati dan fikiran kalian. Memang aku sengaja membuat cerita di atas menjadi tak menyambung, sebab hidup sekarang sudah tak berkesinambungan. Semua orang ingin menang sendiri, semua orang ingin menguasai sendiri, semua orang ingin memakan sendiri, semua orang ingin segalanya, dan itu adalah hal yang lumrah.
“Hhhhfffftt”, nafasku pelan menghela dari dua lubang hidung.
Seharusnya paragraf tadi itu tentang lembaran kertas yang aku ingin menulis cinta atau hanya sekedar sajak-sajak pendek tentang seorang wanita yang aku belum begitu mengenalnya.
Ujung pena terangkat dari lembaran kertas dan tinta mengering, sementara disini aku belum menulis sebuah nama untuk hati yang ada di dalam tubuhku. Aku pernah melukismu lewat tulisan. Dan tulisanku terbakar air mata lautan.
Kesepian ini bernama “Tanpa Mu”

Wonosobo, 021212

No comments:

Post a Comment