“Aaaaarrght…”,
jerit hatiku yang tak tersampaikan kepada mulut untuk berteriak.
Entah
dari mana lagi aku ingin menulis kata? Mungkin lebih tepatnya adalah mengetik
kalimat. Ujung pena telah terangkat dari lembaran kertas, tinta pun mengering
dan aku belum sempat menulis sebuah nama pada hati yang ada dalam tubuh ini.
Perjalanan
hidup memang sudah digariskan oleh-Nya. Adakalanya aku berfikir tentang apa itu
hidup? Bagaimana aku menjalaninya? Untuk apa aku hidup? Akan kemana setelah aku
meninggalkan hidup? Langkah apa yang akan mengiringi perjalanan kehidupanku? Semua
selalu hadir dalam fikiran dan menjadi kegelisahan pengantar tidurku.
Aku
pernah menulis sajak tentang rasa takutku akan kematian. Sajak itu tak pernah
mengobati rasa takutku yang berkepanjangan. Aku juga pernah menulis sajak
tentang percintaan. Sajak itu seperti baru saja tersiram air hujan lalu masuk dalam
wadah yang berisi bensin dan aku membuang putung rokok menyala kedalamnya. Kejam
sekali !
Mungkin
kalian pernah menulis perjalanan hidup atau sekedar membayangkannya sebagai
fenomena ghaib yang akan terjadi mendatang yang seolah-olah kalian telah
merencang dan akan mendapat buah hasilnya. Aku pun sama seperti itu, merancang
kehidupan dimasa yang akan datang walau lewat fikiran, lalu ku tentukan kemana
aku kan melangkah serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang
akan terjadi nanti jika aku salah dalam melangkahkan kaki.
“Huuuft
!!!!”, nafasku keluar dari rongga dada yang dalam.
Ku
pandangi gambar yang ada di depanku, bertuliskan “Hidup itu seperti sebatang
rokok men !!! Antara membunuh atau dibunuh”. Mungkin kalin bertanya apa maksud
dari tulisan itu? Entahlah aku juga tak tahu, aku hanya menulisnya setelah aku
menghisap rokok yang ada di tanganku pada waktu aku menulisnya. Jika kalian
menayankan bagaimana bisa aku melahirkan kata-kata itu? Semua akan ku jawab
dengan gambar serupa, sebab otak manusia melebihi otak hewan. Kalian tentu
paham !
Sekarang
aku menghadap langit-langit kamar, sambil tidur-tiduran aku melihat sarang
laba-laba hitam kecil. Tubuhnya tak seberapa, mungkin sebesar huruf “A” dalam
font Times New Roman dalam Microsoft Word Notebook kalian.
Pernahkah
kalian berfikir bagaimana laba-laba itu mencari makan? Ya… mereka mendapat
makan setelah mereka membangun rumah mereka. Bukan itu jawaban yang saya
inginkan. Mereka makan setelah mereka bekerja, itulah jawaban yang aku
inginkan. Jika dari kalian menyangkal “Tak selamanya orang makan itu kerja,
nyatanya saya tidak kerja saya diantar makanan oleh teman saya yang baru saja
datang dari luar kota”. Kalau boleh saya menyangkal, “Apakah teman kalian akan
mengantar makanan seperti itu setiap kalian merasa lapar dan ingin makan?”
jawaban itu ada dalam hati dan fikiran kalian. Memang aku sengaja membuat
cerita di atas menjadi tak menyambung, sebab hidup sekarang sudah tak berkesinambungan.
Semua orang ingin menang sendiri, semua orang ingin menguasai sendiri, semua
orang ingin memakan sendiri, semua orang ingin segalanya, dan itu adalah hal
yang lumrah.
“Hhhhfffftt”,
nafasku pelan menghela dari dua lubang hidung.
Seharusnya
paragraf tadi itu tentang lembaran kertas yang aku ingin menulis cinta atau
hanya sekedar sajak-sajak pendek tentang seorang wanita yang aku belum begitu
mengenalnya.
Ujung
pena terangkat dari lembaran kertas dan tinta mengering, sementara disini aku
belum menulis sebuah nama untuk hati yang ada di dalam tubuhku. Aku pernah
melukismu lewat tulisan. Dan tulisanku terbakar air mata lautan.
Kesepian
ini bernama “Tanpa Mu”
Wonosobo,
021212
No comments:
Post a Comment