Thursday 7 February 2013

Sajadah Permadani Malam 1

Puncak Lawu 2006

  
“Nah, sekarang baca bait pertama dari kitab Alaa laa yang kalian pegang!”, suruh Kang Jupri selaku Ustadz Diniyyah malam.
Santri diniyyah kelas B yang berjumlah empat belas orang pun bersama-sama membaca bait pertama dengan lagu yang biasa mereka nyanyikan.
Elingo dak kasil ilmu anging nem perkoro. Bakal tak ceritaake kumpule kanti pertelo. Rupane limpat loba sobar ono sangune. Lan piwulange guru lan sing suwe mangsane”, baca mereka serentak.

“Cukup !”, kang Jupri memberi aba-aba diam pada kelas B. “Ada yang tahu maksudnya?”, tanya kang Jupri memandang santri satu persatu.
Suasana kelas hening. Tampak dua santri yang duduk paling belakang saling jawil. Khoirul yang duduk di samping kanan nomor dua dari depan tampak menggaruk-garuk kepala. Mungkin saking bingungnya dengan bahasa aneh yang ia dengar. Maklum, dia santri yang datang jauh dari Sumatra untuk mondok di sini.
“Tidak ada yang tahu?”, kang Jupri bertanya sekali lagi memastikan. Perlahan ia menarik nafas dalam-dalam. “Jadi, arti dari bait yang kalian baca itu tadi seperti ini. ‘Ingatlah!  Tidak akan kalian mendapatkan ilmu yang manfaat kecuali dengan enam  syarat. Apa saja itu? Yaitu : cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk ustadz, dan waktu yang lama.”
“Kang maksudnya ilmu yang manfaat itu yang bagaimana kang? Dan cerdas itu, cerdas yang seperti apa kang?”, tanya Faisal yang memotong penjelasan kang Jupri sambil mengangnkat tangan.
“Oh ya, pertanyaan bagus Faisal. Jadi, Ilmu yang manfaaat adalah ilmu yang bisa mengantarkan pemiliknya pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wataala. Ilmu itu adalah Nur Ilahi yang hanya diperuntukkan bagi hamba-hambaNya yang soleh atau sholehah. Jadi tidak sembarang orang yang bisa mendapatkan ilmu yang manfaat. Paham kan?”, jawab kang Jupri.
Sambil mengangguk-angguk Faisal menjawab, “Paham kang, lha terus cerdasnya kang?”, tanya Faisal kembali.
“Hehehe, oh iya. Cerdas di sini artinya adalah kemampuan untuk menangkap ilmu. Bukan berarti IQnya harus tinggi, walaupun dalam mencari ilmu IQ yang tinggi sangat mempengaruhi, asal akalnya mampu menangkap ilmu, berarti dia sudah memenuhi syarat pertama ini. Berbeda dengan orang gila atau orang yang idiot yang memang akalnya sudah tidak bisa menerima ilmu. Namun perlu diingat! Bahwa kecerdasan itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa meningkat. Kata orang-orang tua kita, akal kita itu laksana pedang, artinya semakin sering diasah dan dipergunakan maka pedang akan semakin mengkilat dan tajam. Beda kalo hanya didiamkan, pedang itu akan karatan dan tumpul. Begitu pula dengan akal kita, semakin sering dibuat untuk berfikir dan mengaji, maka akal kita akan semakin tajam daya tangkapnya, dan bila dibiarkan maka akan tumpul dan tidak akan mampu menerima ilmu apapun juga. Bagaimana? Bisa diterima Faisal?”
Injih[1] kang.”, Faisal tersenyum menatap kang Jupri.
“Lha kalo semangat itu maksudnya apa kang?”, tanya Sahri tiba-tiba tanpa mengangkat tangan.
“Ya? Siapa tadi yang bertanya?”, kang Jupri memandang mencari santri yang bertanya.
Sahri mengacungkan tangannya. “Saya kang.”, jawab Sahri.
Kang Jupri tersenyum melihat Sahri. “Oh ya Sahri. Semangat di sini itu artinya sungguh-sungguh dengan bukti ketekunan. Orang yang mencari ilmu tanpa adanya rasa semangat dan ketekunan tidak akan menghasilkan apa-apa atau kurang maksimal. Apalagi itu ilmu agama, ilmu agama itu sesuatu yang mulia yang tidak akan dengan mudah bisa didapatkan tanpa adanya semangat dan tekun. Oleh karena itu, banyak orang mencari ilmu, tapi yang berhasil sangat sedikit dibanding yang tidak berhasil. Kenapa? Ya karena mencari ilmu itu sulit, apa yang kemarin dipelajari dan dihafalkan belum tentu sekarang masih bisa hafal. Padahal apa yang dihafal kemarin masih berhubungan dengan pelajaran hari ini. Akhirnya pelajaran hari inipun berantakan karena hilangnya pelajaran kemarin, maka tanpa kesemangatan dan ketekunan sangat sulit untuk kita mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan dalam Tholabul ‘Ilmi. Paham kan?”, jawab kang Jupri sembari bertanya balik pada Sahri.
“Iya kang paham. Makasih jawabannya kang.”, jawab Sahri sambil melempar senyum. Kang Jupri pun membalas senyum.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, suasana di daerah pondok masih terlihat rame dengan adanya diniyyah malam. Di serambi masjid sebelah selatan, kelas A terlihat sudah bubar dengan keluarnya ustadz yang mengajar di kelas. Di serambi sebelah utara, tepatnya kelas yang dekat bawah menara, mereka tampak begitu memperhatikan ustadz yang menerangkan pelajaran Nahwu. Memang, pelajaran ilmu Nahwu itu harus membutuhkan pemahaman luas dan memperhatikan dengan benar ustadz yang menerangkan.
Kang Jupri melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan kiri. Dua santri yang di belakang tampak tersenyum-senyum bahagia menafsirkan bahwa pelajaran akhlaq diniyyah malam ini akan segera selesai.
“Kang Jupri, terus maksud dari sabar, biaya, petunjuk ustadz, dan waktu yang lama, itu apa kang?”, Khoirul angkat bicara karena penasaran dengan syarat mendapatkan ilmu yang manfaat selanjutnya.
“Waktunya sebentar lagi habis Irul. Kita lanjutkan minggu besok ya pelajaran kita.”, jawab kang Jupri dengan senyum lembut.
“Waaah…. Waaaaah…. Waaaaah”, suara santri kelas B tampak kecewa karena waktu pelajaran hampir habis. Dua santri yang di belakang terlihat cengengesan[2] merdeka.
“Ndak papa, semoga kita diberi umur sampai minggu depan untuk membahas pelajaran ini ya?”, tenang kang Jupri pada kelas B.
Injiiih kaaaang !”, jawab santri serempak.
Pelajaran akhlak kitab Alaa laa di serambi tengah pun berakhir dengan kang Jupri memberi salam. Santri kelas B pun saling berebut salam dengan kang Jupri sebelum meninggalkan kelas. Rembulan di atas sana menyaksikan kebahagiaan mereka belajar akhlak. Gemintang yang sedari tadi mengintip, berkedip-kedip tanda riang gembira. Semilir angin malam ini pun tak berani lantang berhembus menyapa tubuh para santri.


Di kamar, Faisal tampak sedang membolak-balik kitab Alaa laa, mulutnya komat-kamit seperti sedang menghafal sambil merem-melek.[3]
Lagi apo kau Sal? Macam orang kesurupan ajo kau nih[4] di pojok seperti itu.”, tanya Khoirul penasaran dengan tingkah Faisal dengan logat Melayu Sumatra.
“Ini aku sedang menghafal bait pertama sampai bait lima kitab ini.”, jawab Faisal sambil menunjukkan kitab Alaa laa.
“Widih… mau jadi suri tauladan lah kau? Bagus lah kalo macam[5] tu.”, ledek Khoirul pada Faisal.

Bersambung...

[1] Iya.
[2] Senyum-senyum guyon.
[3] Kedip-kedip
[4] Sedang apa kamu Sal? Seperti orang kesurupan saja kamu ini.
[5] Seperti 

No comments:

Post a Comment