Friday 1 February 2013

Cerbung: Santri VS Sosial Media 2



Matahari di atas semakin terik. Seandainya tak ada beringin yang menaungi mereka berdua, tentulah mereka sudah bubar karena panasnya sinar matahari. Memang, pohon itu pelindung yang perlu dijaga kelestariannya. Tanpa terasa waktupun menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh empat menit.
“Perlu kamu ketahui Teng. Dunia teknologi dan internet sekarang itu berkembang sangat pesat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Imbasnya, jumlah pengguna internet saat ini semakin besar dan bertambah terus setiap harinya. Dari 245 juta penduduk Indonesia, pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang. Angka 55 juta pengguna ini berdasarkan data Desember 2011. Bayangkan coba!”,[1] jelas Samu.
“Berarti sekarang jumlah sudah jauh di atas angka iku yo lek?”, tanya Guteng.
“Oh jelas itu. Jumlah pengguna internet di Indonesia menguasai Asia sebesar 22,4 persen, setelah Jepang. Dan Indonesia merupakan negara peringkat ketiga di Asia untuk jumlah pengguna internet. Woooww tenan tho?”
“Ho’oh lek. Asem tenan ig”, gemes Guteng.
“Ndak cuma itu aja Teng. Berdasarkan data Kominfo April 2012, jumlah pengguna jejaring sosial di Indonesia itu juga besar. Setidaknya tercatat sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna Twitter di Indonesia. Dan Indonesia menjadi negara kelima terbesar pengguna Twitter di bawah Inggris dan negara besar lainnya."
“WAAAAAAHHHHH…. KOK AKU KATROK BANGET THO LEK?”, teriak Guteng yang gemes pada dirinya sendiri.
“Kamu itu ndak katrok Teng, kamu itu belum sadar media saja. Di pondok mu ada akses internet tho?”
“Ada lek, tapi itu khusus di perpus thok jhe lek. Aksesnya pun hanya orang-orang tertentu thok yang bisa menggunakan.”
“Walah.. PEKOK kamu Teng. Fasilitas sudah ada kenapa ndak kamu manfaatin? Sekarang gini teng. Di pondokmu ada berapa komplek?”
“Kok pekok tho? Di pondokku ndak ada komplek-komplekan lek, adanya blok”, Guteng manyun.
“Yo wes intinya itu. Ada berapa?”, tanya Samu agak kesal.
“Kalo yang putra sekitar 20 blok lek, kalo yang putri ndak tau aku lek.”
“Jumlah rata-rata santri satu bloknya ada berapa?”, tanya Samu.
“Yaaa sekitar 35 sampai 40 orang lek.”, jawab Guteng yang masih tampak bingung.
“Naaah… Saiki bayangke Teng. BAYANGKAN ! Seandainya 20 kamar itu diambil 20 anak, dan setiap anak itu disuruh menulis tentang sejarah Pondokmu serta sistem pembelajarannya. Kira-kira dapat berapa karya tulis itu?” terang Samu sumringah.
“Emmmm, 400 karya tulis lek kaya’e?”
Ojo muni kaya’e. Iki serius !”, tekan Samu.
“Ya ! 400 karya tulis lek !” tegas Guteng.
“Naah kaya gitu kan manteb jawabannya. Gini teng, 400 tulisan itu kalo di masukkan di Sosial Media mereka masing-masing seperti Blogger gitu, dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama, dengan harapan yang sama. “KLIK”, terposting dalam blogger. Pondokmu bakal dikenal di seluruh dunia Teng. Saat orang-orang sedang buka internet dan membuka nama pondokmu, 400 tulisan karya santri tadi itu yang terpajang di Mbah Goggle. Ini baru satu waktu Teng. Belum lagi kalo satu hari itu posting 5 artikel. Belum lagi kalo ketambah dari santri putri. Kalo bisa bertahan satu tahun. Dunia gempar Teng sama artikel-artikel karya santri pondokmu.”
“WAAAaaaah. Ho’oh yo lek. Kenapa ndak dari dulu yo begitu? Asem tenan lek.”, greget Guteng.
“Ini Teng.. Ini… konsep film Linimasa yang dikembangkan oleh mereka-mereka yang tergabung dalam komunitas blogger.”, greget Samu.
Opo lek? Linimasa? Opo iku lek?”, tanya Guteng yang tiba-tiba penasaran sambil mengrenyitkan dahinya.
“Jadi gini Teng. Film Linimasa ini menggambarkan penggunaan media sosial di tanah air kita ini. Dan ini menjadi mau menjadi kurikulum di SMA di Australia Barat. Laman Linimassa.org menulis, jika Pemerintah Australia Barat khususnya yang menangani standar serta kurikulum Sekolah Menengah Atas telah meminta permohonn ijin penggunaan film Linimassa karya anak Negri kita. Bayangkan jika Indonesia seperti itu Teng.. Guteng…?”
“Woow. Tapi aku belum paham jhe lek.”
“Gini Teng. Dalam salah satu episode film Linimassa digambarkan bagaimana seorang tukang becak di Jogjakarta menggunakan media sosial dan internet dalam mendukung aktivitasnya.  Ia adalah Blasius Haryadi atau yang dikenal dengan nama Harry Van Yogya. Harry Van Yogya menggunakan internet khususnya media sosial sebagai media dalam memperkenalkan Yogyakarta ke mancanegara. Banyak wisatawan asing yang mengubunginya via media sosial yang akhirnya menggunakan jasanya sebagai guide.[2] Seandainya pondokmu itu terkenal sampai ke mancanegara, mereka akan penasaran sama pondokmu. Dan biasanya orang manca itu kalo penasaran pasti bakal cari tahu langsung dengan mendatanginya. Apa lagi di pondokmu itu dikenal sebagai pencetus Kaligrafi Akbar. Ini kesempatan dakwah Teng. KAPAN LAGI KALO NDAK SEKARANG?”
“Whahahahahahaha. Jancuk pikiranmu lek. Iyo yooo… ngopo baru sekarang kamu kasih taunya lek. Asem tenan.”
“Weleh. Koe santri tapi kok ngomong Jancuk. Tak omong pengasuhmu nanti.”, ancam Samu sambil cengengesan.
“Kata Mbah Sujiwo Tedjo, ‘JANCUK IS NOT ALL FUCKING’. Hehehehe jadi ndak papa tho aku mengungkapkan rasa gumun ku dengan kata Jancuk. Hehehehe”, jawab Guteng ngguya-ngguyu.
“Whahahaha. Jika dengan JANCUK pun aku tak bisa mengeduk hatimu, dengan air mata mana lagi aku bisa menjumpaimu? Ngene iki aku yo santrine Mbah Jiwo Tedjo. Hahahaha.”
Tawa mereka lepas memecah siang dengan terik mentarinya. Dari jauh tawa itu tampak begitu renyah, sampai adzan Dzuhur melengking dari surau memenuhi udara. Mereka berdiri tuk pergi memenuhi panggilan itu.
=====<<<>>>=====
Franssas, 30012013

4 comments:

  1. wah kreatip :D d
    tengok juga >> http://entegila.wordpress.com/2012/12/02/santri-lakon-bukan-penonton/

    ReplyDelete
  2. dari awal membaca, saya sudah menduga ke arah yang dituju dalam kampanye linimassa... ternyata memang benar....
    saya setuju dengan pemanfaatan internet sebagai media dakwah para santri...
    salut untuk ilustrasi ceritanya.... ^_^

    ReplyDelete
  3. hehehe terimakasih shob. salam kenal ya.

    ReplyDelete