Sesudah tiga tahun lebih sedikit tidak mengajar, akhirnya mulai minggu lalu saya kembali mengajar di kampus. Jogja sudah mengalami banyak perubahan, lalulintas lebih padat. Kampus dan pola belajar mahasiswapun sepertinya juga ada banyak perubahan.
Salah satu contoh perubahan pola belajar yang terkait dengan pembelajaran dan kemajuan teknologi adalah pembelajaran vocabulary bahasa Inggris. Kalau mahasiswa tidak mengerti sebuah kata baru mereka akan mengambil smartphone yang terhubung ke internet dan mencari arti kata tersebut. Mahasiswa tidak lagi memakai kamus yang tebal dan berat. Keuntungannya adalah mudah dan cepat. Salah satu kerugiannya mungkin adalah masalah akurasinya.
Budaya instant di mana segala sesuatu menjadi sangat mudah dan sangat cepat banyak mempunyai nilai positif. Namun apabila tidak disikapi dengan hati-hati ada beberapa kerugian yang ditimbulkan. Budaya cepat dan mudah mendorong manusia pada umumnya serta pelajar dan mahasiswa pada khususnya menjadi malas dan kurang gigih berusaha. Hal ini diperburuk dengan budaya belajar di sekolah yang kebanyakan masih menganut system transfer ilmu yang banyak dikritisi oleh ahli pendidikan seperti Paulo Freire.
Proses pembelajaran di sekolah masih banyak menganut system transfer ilmu, di mana guru adalah pemilik pengetahuan dan mentransfer ilmunya kepada anak didik. Proses ini seperti proses transfer uang di bank. Siswa hanya duduk dan mendengarkan secara pasif, menerima apa saja yang disampaikan guru sebagai pemberi ilmu. Padahal menurut sebuah penelitian, metode ceramah hanya memberikan 5% tingkat retensi, artinya hanya 5% dari yang diceramahkan akan nyantol di ingatan siswa.
Kebiasaan belajar secara pasif, hanya menerima transfer ilmu ini sering masih terbawa ke bangku kuliah. Beberapa hari yang lalu saya mengajar mahasiswa semester 4 kuliah membacadan menulis kritis. Hari sebelumnya saya menugasi mahasiswa untuk membaca dua lembar bacaan. Ketika kuliah berikutnya mulai saya bertanya: “Siapa yang sudah membaca?” Dari 33 Mahasiswa hanya 3 orang yang sudah membaca. Maka saya ‘meminta dengan hormat’ 30 mahasiswa yang belum membaca meninggalkan kelas dan saya mengajar 3 orang yang sudah membaca. Bagaimana bias membaca dengan kritis, kalau membaca saja tidak?
Saya jadi teringat cerita Abunawas yang diminta untuk berkhotbah. Pada hari Jumat Abunawas diminta berkhotbah. Dia naik mimbar dan bertanya: “Apakah ada yang tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?” Semua yang hadir serempak menjawab: “Tidak.” Maka Abunawaspun berkata: “Tidak ada gunanya saya berkhotbah karena tidak ada yang tahu tentang apa yang akan saya sampaikan.” Abunawaspun turun dari mimbar.
Minggu berikutnya Abunawas kembali diminta berkhotbah. Dia menanyakan pertanyaan yang sama: “Apakah ada yang tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?” Berdasarkan pengalaman sebelumnya, maka semua serempak menjawab: “Iya.” Maka Abunawaspun berkata: “Tidak ada gunanya saya berkhotbah karena semua sudah tahu tentang apa yang akan saya sampaikan.” Dan Abunawas kembali turun dari mimbar seperti minggu sebelumnya.
Minggu ketiga Abunawas kembali diminta berkhotbah. Dia naik mimbar dan menanyakan pertanyaan yang sama: “Apakah ada yang tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?” Berdasarkan pengalaman sebelumnya, maka hadirin tak mau kalah, setengahnya menjawab: “Tidak” dan setengahnya lagi menjawab: “Iya.” Abunawas tak kalah cerdik, dia berkata: “Bagi hadirin yang sudah tahu mohon memberi tahu hadirin yang belum tahu.” Dan Abunawas kembali turun dari mimbar seperti minggu sebelumnya tanpa harus berkhotbah.
No comments:
Post a Comment