“Aaaarrrght…”, Mala berteriak kesal sambil melempar
buku yang ia baca.
“Ada apa nak? Kok teriak-teriak kaya gitu?”, jawab
Ayah yang ada di meja makan sedang membaca koran.
“Ini Yah, Mala bingung dengan suruhan sholat jama’ah
bagi kaum perempuan.”, Mala manyun berjalan menuju ayahnya yang membuka halaman
koran dan duduk di samping ayah.
Ayah menaruh korannya dan memandang Mala sambil
mengelus kepala dengan sayang. “Bingung kenapa nak? Kan sudah jelas bahwa
sholat jama’ah itu wajib hukumnya. Kamu sudah ayah ceritakan belum tentang
hadits Rosulullah SAW. yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu?”,
tanya ayah pada Mala.
Mala menggeleng pelan menatap ayah.
“Jadi begini nak. Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam pernah bersabda, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku
ingin memerintahkan (pengumpulan) kayu-kayu untuk dijadikan bahan bakar api.
Kemudian aku memerintahkan shalat dengan dikumandangkannya adzan, kemudian aku
memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia dan aku mendatangi orang-orang
yang tidak mengikuti shalat (jamaah), lalu membakar rumah-rumah mereka. Demi
Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, andaikata salah seorang dari mereka mengetahui
bahwa sesungguhnya dia akan mendapatkan tulang yang ada dagingnya dan berlemak
atau dua daging tulang rusuk yang bagus, niscaya dia akan mengikuti shalat
Isya’ (secara berjamaah). (Muttafaq Alaih)”, terang ayah pada Mala yang tampak
serius mendengarkan.
“Maksud dari perkataan Rosululloh itu apa Yah?”, Mala
bertanya pada ayah.
Ayah tersenyum pada Mala yang penasaran. “Sekarang
coba Mala bayangkan seperti apa ekspresi wajah dan sikap Rosulullah pada waktu
mengatakan hadits tersebut! Seandainya ayah ada pada waktu itu, ayah
seolah-olah bisa melihat kesungguhan Rosulullah dalam memperhatikan pentingnya
shalat berjama’ah. Bayangkan saja Beliau mengancam akan membakar rumah
orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dan lebih memilih tinggal di
rumah-rumah.”
“Terus apakah Rosulullah benar-benar membakar
rumah-rumah tersebut Yah?”, Mala kembali bertanya pada ayah dan semakin
penasaran.
“Hahahaha. Menurut kamu apakah Rosulullah membakar
rumah mereka?”, ayah tertawa sembari melemparkan pertanyaan pada Mala.
“Kok ketawa sih yah? Menurut Mala, Rosulullah tidak
mungkin melakukan itu. Rosulullah itu kan akhlaknya terjaga yah.”
“Hehehe. Benar, Rosulullah tidak melakukannya. Ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat berjamaah itu Fardhu ‘Ain mereka adalah Atha`, Auza’i, Ahmad bin Hanbal, Abu
Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban, dan ulama Zhahiriyah. Bahkan
Imam Dawud azh-Zhahiri mengatakan bahwa shalat secara berjamaah itu menjadi
syarat sahnya shalat. Coba Mala bayangkan apa yang terjadi jikalau Rosulullah
benar-benar membakarnya pada saat itu!”
“Emm, mungkin berjama’ah bisa saja menjadi syarat
sahnya sholat Yah. Terus kejadian itu bisa berlanjut sampai sekarang.”, jawab
Mala sambil menerka-nerka memandang pojok langit-langit dan sesekali
manggut-manggut.
“Nah itu Mala tahu. Dan perlu kamu ketahui, pendapat Imam
Dawud azh-Zhahiri dan yang lainnya ini banyak ditentang para ulama, karena syarat itu membutuhkan dalil tersendiri.
Salah satunya yaitu Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (2/451). Dia
mengatakan bahwa orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dalam hadits di
atas adalah orang-orang munafik, karena tidak mungkin sahabat Rosulullah yang
beriman lebih mengutamakan makan daging berlemak daripada shalat berjama’ah
bersama beliau dan di masjid beliau. Di samping itu Rosulullah juga hanya
berkehendak untuk membakar dan beliau tidak melaksanakannya. Andaikata shalat
berjamaah Fardhu ‘Ain, beliau mungkin
tidak meninggalkan hukumannya, yaitu membakar rumah orang yang meninggalkan
shalat berjama’ah.”
“Begitu ya Yah? Hmmm.”, Mala sepertinya paham dengan
apa yang dijelaskan ayahnya.
“Ya, seperti itulah. Dan ada satu kisah lagi. Suatu
hari ketika mendengar adzan, Rabi’ ibn Khaitsam yang tubuhnya sudah lumpuh dipapah
oleh sahabatnya menuju masjid. Saat itu, para sahabatnya berkata: “Wahai Abu
Yazid, Allah telah memberikan keringanan kepadamu untuk shalat di rumahmu
saja.” Namun apa yang dikatakan Rabi’ ibn Khaitsam? Ia menjawab: “Aku selalu
mendengarnya menyeru, ‘Hayya ‘Ala al-Falah.’
Apakah aku harus mengabaikan panggilan itu dan melaksanakan panggilan
itu di rumah sedangkan panggilan itu bersumber dari masjid ini?”, semua yang
ada di situ terdiam. Lalu Rabi’ ibn Khaitsam berkata: “Jika salah seorang di antara
kalian mendengar muadzin menyuarakan Hayya ‘Ala al-Falah, penuhilah panggilan
itu, meskipun harus dengan merangkak.”
Mala semakin maanggut-manggut paham.
“Tapi yah, apakah panggilan Hayya ‘Ala al-Falah itu
juga diperuntukkan pada wanita?”, Mala bertanya pada ayah. Tampak wajah ayah
sedikit kaget dan mengrenyitkan dahinya.
“Seruan Hayya ‘Ala al-Falah itu asalnya umum, diserukan
untuk laki-laki dan wanita. Mengapa Mala bertanya begitu? Seharusnya Mala sudah
tahu itu kan?”, ayah menatap Mala heran.
Mala juga terlihat bingung dengan apa yang ia ingin
katakan pada ayahnya. Gelagatnya terlihat kaku dan gelisah. Ia pun membenarkan
posisi duduknya.
Bersambung.....
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment