Monday, 4 February 2013

Wanita Hayya 'Ala al-Falah




“Aaaarrrght…”, Mala berteriak kesal sambil melempar buku yang ia baca.
“Ada apa nak? Kok teriak-teriak kaya gitu?”, jawab Ayah yang ada di meja makan sedang membaca koran.
“Ini Yah, Mala bingung dengan suruhan sholat jama’ah bagi kaum perempuan.”, Mala manyun berjalan menuju ayahnya yang membuka halaman koran dan duduk di samping ayah.

Ayah menaruh korannya dan memandang Mala sambil mengelus kepala dengan sayang. “Bingung kenapa nak? Kan sudah jelas bahwa sholat jama’ah itu wajib hukumnya. Kamu sudah ayah ceritakan belum tentang hadits Rosulullah SAW. yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu?”, tanya ayah pada Mala.
Mala menggeleng pelan menatap ayah.
“Jadi begini nak. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku ingin memerintahkan (pengumpulan) kayu-kayu untuk dijadikan bahan bakar api. Kemudian aku memerintahkan shalat dengan dikumandangkannya adzan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia dan aku mendatangi orang-orang yang tidak mengikuti shalat (jamaah), lalu membakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, andaikata salah seorang dari mereka mengetahui bahwa sesungguhnya dia akan mendapatkan tulang yang ada dagingnya dan berlemak atau dua daging tulang rusuk yang bagus, niscaya dia akan mengikuti shalat Isya’ (secara berjamaah). (Muttafaq Alaih)”, terang ayah pada Mala yang tampak serius mendengarkan.
“Maksud dari perkataan Rosululloh itu apa Yah?”, Mala bertanya pada ayah.
Ayah tersenyum pada Mala yang penasaran. “Sekarang coba Mala bayangkan seperti apa ekspresi wajah dan sikap Rosulullah pada waktu mengatakan hadits tersebut! Seandainya ayah ada pada waktu itu, ayah seolah-olah bisa melihat kesungguhan Rosulullah dalam memperhatikan pentingnya shalat berjama’ah. Bayangkan saja Beliau mengancam akan membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dan lebih memilih tinggal di rumah-rumah.”
“Terus apakah Rosulullah benar-benar membakar rumah-rumah tersebut Yah?”, Mala kembali bertanya pada ayah dan semakin penasaran.
“Hahahaha. Menurut kamu apakah Rosulullah membakar rumah mereka?”, ayah tertawa sembari melemparkan pertanyaan pada Mala.
“Kok ketawa sih yah? Menurut Mala, Rosulullah tidak mungkin melakukan itu. Rosulullah itu kan akhlaknya terjaga yah.”
“Hehehe. Benar, Rosulullah tidak melakukannya. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat berjamaah itu Fardhu ‘Ain mereka adalah Atha`, Auza’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban, dan ulama Zhahiriyah. Bahkan Imam Dawud azh-Zhahiri mengatakan bahwa shalat secara berjamaah itu menjadi syarat sahnya shalat. Coba Mala bayangkan apa yang terjadi jikalau Rosulullah benar-benar membakarnya pada saat itu!”
“Emm, mungkin berjama’ah bisa saja menjadi syarat sahnya sholat Yah. Terus kejadian itu bisa berlanjut sampai sekarang.”, jawab Mala sambil menerka-nerka memandang pojok langit-langit dan sesekali manggut-manggut.
“Nah itu Mala tahu. Dan perlu kamu ketahui, pendapat Imam Dawud azh-Zhahiri dan yang lainnya ini banyak ditentang para ulama, karena syarat itu membutuhkan dalil tersendiri. Salah satunya yaitu Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (2/451). Dia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dalam hadits di atas adalah orang-orang munafik, karena tidak mungkin sahabat Rosulullah yang beriman lebih mengutamakan makan daging berlemak daripada shalat berjama’ah bersama beliau dan di masjid beliau. Di samping itu Rosulullah juga hanya berkehendak untuk membakar dan beliau tidak melaksanakannya. Andaikata shalat berjamaah Fardhu ‘Ain, beliau mungkin tidak meninggalkan hukumannya, yaitu membakar rumah orang yang meninggalkan shalat berjama’ah.”
“Begitu ya Yah? Hmmm.”, Mala sepertinya paham dengan apa yang dijelaskan ayahnya.
“Ya, seperti itulah. Dan ada satu kisah lagi. Suatu hari ketika mendengar adzan, Rabi’ ibn Khaitsam yang tubuhnya sudah lumpuh dipapah oleh sahabatnya menuju masjid. Saat itu, para sahabatnya berkata: “Wahai Abu Yazid, Allah telah memberikan keringanan kepadamu untuk shalat di rumahmu saja.” Namun apa yang dikatakan Rabi’ ibn Khaitsam? Ia menjawab: “Aku selalu mendengarnya menyeru, ‘Hayya ‘Ala al-Falah.’  Apakah aku harus mengabaikan panggilan itu dan melaksanakan panggilan itu di rumah sedangkan panggilan itu bersumber dari masjid ini?”, semua yang ada di situ terdiam. Lalu Rabi’ ibn Khaitsam berkata: “Jika salah seorang di antara kalian mendengar muadzin menyuarakan Hayya ‘Ala al-Falah, penuhilah panggilan itu, meskipun harus dengan merangkak.”
Mala semakin maanggut-manggut paham.
“Tapi yah, apakah panggilan Hayya ‘Ala al-Falah itu juga diperuntukkan pada wanita?”, Mala bertanya pada ayah. Tampak wajah ayah sedikit kaget dan mengrenyitkan dahinya.
“Seruan Hayya ‘Ala al-Falah itu asalnya umum, diserukan untuk laki-laki dan wanita. Mengapa Mala bertanya begitu? Seharusnya Mala sudah tahu itu kan?”, ayah menatap Mala heran.
Mala juga terlihat bingung dengan apa yang ia ingin katakan pada ayahnya. Gelagatnya terlihat kaku dan gelisah. Ia pun membenarkan posisi duduknya.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment