“Ah
kamu ini Rul. Aku sedang mencoba menghafal dan ingin mengamalkan pelajaran yang
tadi saja. Ya, sapa tahu saja ilmuku yang ku dapat di pondok ini bisa
bermanfaat dan mendekatkan diriku pada Gusti Allah.”, jawab Faisal sambil
menaruh kitabnya di lemari.
“Eh
Sal, benar juga kau ni. Omong-omong ya Sal, menurut kau arti dari sabar, biaya, petunjuk ustadz, dan waktu yang lama
itu apa Sal?”, tanya Khoirul sambil mendekati Faisal di depan lemarinya.
“Aku
ndak tau Rul. Kalo menurut kamu apa?”, longok Fisal sambil kembali bertanya.
Khoirul
memandang langit-langit kamar sambil berfikir. “Kalo menurut aku..”, jawab
Khoirul memegang kepala. “Kalo menurut aku. Sabar itu artinya tabah menghadapi cobaan
dan ujian ketika
mencari ilmu, orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus
menuju Penciptanya. Oleh karena itu setan sangat membenci
pada mereka yang mencari ilmu mencari jalan lurus menuju
penciptanya. Apa yang dikehendaki setan adalah
agar tidak ada orang yang mencari ilmu, tidak
ada orang yang akan mengajarkan pada umat bagaimana cara beribadah dan orang
yang akan menasehati
umat agar tidak tergelincir pada
kemaksiatan. Maka
dari itu setan
sangat bernafsu sekali menggoda pelajar ataupun
santri agar gagal
dalam pelajarannya. Digodanya mereka dengan suka pada lawan
jenis, dengan
kemelaratan, dan
lain-lain.”, terang Khoirul yang masih menatap langit-langit
sambil memegang kepala.
Faisal
yang mendengarkan penjelasan Khoirul tampak tertegun mendengar penjelasan
temannya.
“Dapat
wangsit dari mana kamu Rul? Jawaban kamu itu lho, cocok banget kalo dijadikan
khutbah Jum’at di antara santri-santri pondok.”
“Ah
kau ni. Aku tadi hanya iseng-iseng jawab aja. Lagian aku tak mau khotbah di
depan santri-santri lain, mereka tentu jauh lebih pandai dari aku lah kawan.”,
jawab Koirul tak ingin ditinggikan.
“Tapi
itu bener lho Rul. Aku sependapat sama ucapanmu tadi.”, tatap Faisal pada
Khoirul.
“Hmmm
terus ?”, Koirul menyipitkan matanya menatap ngledek pada Faisal.
“Terus
lanjutkan yang selanjutnya Rul.”
“Eit,
harus ada sesaji buat mengatasi perutku yang lapar ini. Hehehe.”, Khoirul
memutar-mutar tangan di depan perutnya.
“Itu
beres, nanti kita makan nasgor wes di
depan pondok.”, jawab Faisal sambil memainkan mata.
“Oke
lah, jadi menurutku, biaya
itu artinya orang
mengaji perlu biaya seperti juga setiap manusia hidup yang memerlukannya. Tapi jangan di fahami harus punya uang apalagi uang
yang banyak. Biaya disini
menurutku hanya
kebutuhan kita makan,
minum,
sandang,
dan papan secukupnya, pun
tidak harus berupa
bekal materi.
Dalam sejarah kepesantrenan dari zaman
sahabat Nabi
sampai zaman ulama terkemuka,
kebanyakan para santrinya adalah orang-orang yang tidak mampu.
Seperti Abu Hurairoh, bilau
adalah sahabat Nabi sekaligus
seorang perawi hadits terbanyak, dia
adalah orang yang
sangat fakir. Imam
Syafi’i, beliau adalah
seorang yatim yang papa, dan banyak lagi kasus contohnya.
Biaya di sini bisa di
artikan pula dengan
mencari sambil khidmah atau bekerja yang tidak mengganggu belajar.”,
terang Khoirul yang sesekali tangannya mengacung-acung sambil manggut-manggut.
“Oooy,
makin keren ajo[1]
kawanku satu k[2]o
menerangkannya. Hahahaha.”, celetuk Faisal menirukan logat Melayu Sumatra.
“Eeeey,
begayo pulo kau pakek baso Melayu tu[3].”
“Opo iku artine?”[4],
tanya Faisal.
“Apo pulo tu artinyo?”[5],
tanya Koirul
Mereka
saling bertanya menggunakan bahasa daerah masing-masing yang artinya sama.
“Terus
lanjutkan Rul pendapat kamu tentang petunjuk ustadz yang dimaksud kitab Alaa
laa tadi.”, suruh Faisal sambil mengacungkan jarinya.
“Kalo
menurut aku Sal ya. Petunjuk
ustadz itu
berarti, orang yang mengaji itu harus digurukan
dan tidak boleh
belajar sendiri. Kamu tahu kan ilmu
agama adalah warisan para nabi?
Ilmu itu bukan barang hilang yang bisa dicari di
kitab-kitab.
Kita bisa melihat
sejarah penurunan wahyu dan penyampaiannya kepada para sahabat.
Betapa Nabi setiap bulan puasa
menyimakkan Al-Qur’an kepada Jibril
dan sebaliknya, kemudian Nabi menyampaikan kepada para sahabat,sahabat menyampaikan
kepada para Tabi’in,
lalu para Tabi’in
menyampaikan pada Tabi’i
At-tabi’in
dan seterusnya kepada ulama salaf, lalu
ulama Kholaf, lalu ulama Mutaqoddimin lalu ulama Muta’akhirin dan seterusnya sampai
pada umat sekarang ini.
Jadi, ilmu
yang kita terima sekarang ini adalah ilmu yang bersambung sampai Nabi dan
sampai kepada Allah Subhanahu
Wa
Ta’ala. Jadi sangat jelas sekali bahwa orang
yang belajar harus lewat bimbingan seorang guru.”
“Sebentar
Rul. Sekarang kan zaman sudah modern, internet juga sudah pesat dan
memasyarakat, bahkan itu sudah menjadi kebutuhan primer. Waktu aku pulang
kemaren Rul, seorang tetanggaku melarang anaknya ikut pengajian rutin setiap
hari Sabtu. Dia bilang, “Buat apa ikut pengajian, toh Internet di rumah lebih
pintar dari yang mengisi ngaji”. Nah itu bagaimana Rul pendapat kamu? Apakah
ilmu yang didapat dari Internet itu menyambung sanad ilmunya pada Rosululloh?
Terus, apakah yang seperti ini termasuk sesat lagi menyesatkan? Kira-kira
bagaimana Rul? Bisa nggak umpama kita mengambil hukum itu dari sebuah artikel
di internet?”, Faisal bertanya sembari membenarkan posisi duduknya.
“Waaah
keren itu Sal. Itu belajar agamanya tentang apa dulu?”, tanya Khoirul yang
menambah mantap untuk berdiskusi.
“Aku
ya Ndak tau Rul. Yang aku dengar Cuma itu aja.”
“Hmm
gitu ya, setahu aku ya Sal. Orang belajar itu dengan 3 cara, yaitu dengan cara
mendengar, melihat, dan dengan cara melihat dan mendengar. Cara gampangnya
begitulah, ini bukan berarti aku menggampangkan metode Sal.”
“Ya..
lanjut !”, jawab Faisal dengan ekspresi yang sangat serius menatap Khoirul.
“Kalo
kasusnya yang kau sampaikan begitu, aku belum berani menjawabnya Sal.
Hehehehe.”
“Hahahaha.
Maaf Sal.. Kata Nabi kita kan kalau kita tidak tahu apa-apa lebih baik diam
jangan menjawab. Apalagi ini tentang hukum Islam Sal. Apa kau mau aku dilaknat
Allah karena jawabanku yang tak mempunyai dasar?”, jawab Khoirul tertawa.
“Huh…
tapi benar juga kamu Rul. Memang lebih baik diam kalau tak tahu apa-apa. Nah,
terus, menurut kamu lama dalam bait pertama Alaa laa itu apa?”
Khoirul
yang tertawa kecil tadi mulai berhenti, “Menurut aku Sal. Lama itu artinya orang belajar perlu waktu yang lama.
Lama di sini bukan berarti tanpa target, orang belajar
itu kan harus punya
target Sal. Tanpa target, semua akan hampa dan malaslah kita
belajar. Dan ingat Sal! Kita yang merencanakan, Allah lah
yang menentukan.”
“Hahahahaha.
Benar juga kamu Rul. Satu pesan Rul buat kamu, mengutip dari nyanyiannya Iwan
Fals, “Jika kata tak lagi bermakna lebih baik diam saja”, hahaha”
“Ah..
macam mano pulo kau nih[8].
Itu hampir samalah dengan ‘Fal Yaqul
Khoiron Auw Liyasmut’. Ayo Sal kita makan, sudah lapar perutku nih.”
“Hahaha,
ayo. Salin baju dulu tapi ya !”
Malam
pun memberi angin segar untuk pembacanya. Rembulan di atas tersenyum dari balik
kelambu tipis awan abu-abu. Begitu indah bisik jangkrik yang menemani gelap
dengan gemericik air dari kolam seberang kamar Khoirul dan Faisal. Sajadah
malam telah dibentang bersama permadani gemintang.
Franssas,
31012013
haloo.. blognya asik.
ReplyDeletesalam kenal yaa.. :)
uyeeee, hehehehe salam kenal juga. hehehe
Delete