Friday, 8 February 2013

Sajadah Permadani Malam 2





“Ah kamu ini Rul. Aku sedang mencoba menghafal dan ingin mengamalkan pelajaran yang tadi saja. Ya, sapa tahu saja ilmuku yang ku dapat di pondok ini bisa bermanfaat dan mendekatkan diriku pada Gusti Allah.”, jawab Faisal sambil menaruh kitabnya di lemari.
“Eh Sal, benar juga kau ni. Omong-omong ya Sal, menurut kau arti dari sabar, biaya, petunjuk ustadz, dan waktu yang lama itu apa Sal?”, tanya Khoirul sambil mendekati Faisal di depan lemarinya.
“Aku ndak tau Rul. Kalo menurut kamu apa?”, longok Fisal sambil kembali bertanya.

Khoirul memandang langit-langit kamar sambil berfikir. “Kalo menurut aku..”, jawab Khoirul memegang kepala. “Kalo menurut aku. Sabar itu artinya tabah menghadapi cobaan dan ujian ketika mencari ilmu, orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus menuju Penciptanya. Oleh karena itu setan sangat membenci pada mereka yang mencari ilmu mencari jalan lurus menuju penciptanya. Apa yang dikehendaki setan adalah agar tidak ada orang yang mencari ilmu, tidak ada orang yang akan mengajarkan pada umat bagaimana cara beribadah dan orang yang akan menasehati umat agar tidak tergelincir pada kemaksiatan. Maka dari itu setan sangat bernafsu sekali menggoda pelajar ataupun santri agar gagal dalam pelajarannya. Digodanya mereka dengan suka pada lawan jenis, dengan kemelaratan, dan lain-lain.”, terang Khoirul yang masih menatap langit-langit sambil memegang kepala.
Faisal yang mendengarkan penjelasan Khoirul tampak tertegun mendengar penjelasan temannya.
“Dapat wangsit dari mana kamu Rul? Jawaban kamu itu lho, cocok banget kalo dijadikan khutbah Jum’at di antara santri-santri pondok.”
“Ah kau ni. Aku tadi hanya iseng-iseng jawab aja. Lagian aku tak mau khotbah di depan santri-santri lain, mereka tentu jauh lebih pandai dari aku lah kawan.”, jawab Koirul tak ingin ditinggikan.
“Tapi itu bener lho Rul. Aku sependapat sama ucapanmu tadi.”, tatap Faisal pada Khoirul.
“Hmmm terus ?”, Koirul menyipitkan matanya menatap ngledek pada Faisal.
“Terus lanjutkan yang selanjutnya Rul.”
“Eit, harus ada sesaji buat mengatasi perutku yang lapar ini. Hehehe.”, Khoirul memutar-mutar tangan di depan perutnya.
“Itu beres, nanti kita makan nasgor wes di depan pondok.”, jawab Faisal sambil memainkan mata.
“Oke lah, jadi menurutku, biaya itu artinya orang mengaji perlu biaya seperti juga setiap manusia hidup yang memerlukannya. Tapi jangan di fahami harus punya uang apalagi uang yang banyak. Biaya disini menurutku hanya kebutuhan kita makan, minum, sandang, dan papan secukupnya, pun tidak harus berupa bekal materi. Dalam sejarah kepesantrenan dari zaman sahabat Nabi sampai zaman ulama terkemuka, kebanyakan para santrinya adalah orang-orang yang tidak mampu. Seperti Abu Hurairoh, bilau adalah sahabat Nabi sekaligus seorang perawi hadits terbanyak, dia adalah orang yang sangat fakir. Imam Syafi’i,  beliau adalah seorang yatim yang papa, dan banyak lagi kasus contohnya. Biaya di sini bisa di artikan pula dengan mencari sambil khidmah atau bekerja yang tidak mengganggu belajar.”, terang Khoirul yang sesekali tangannya mengacung-acung sambil manggut-manggut.
“Oooy, makin keren ajo[1] kawanku satu k[2]o menerangkannya. Hahahaha.”, celetuk Faisal menirukan logat Melayu Sumatra.
“Eeeey, begayo pulo kau pakek baso Melayu tu[3].”
Opo iku artine?”[4], tanya Faisal.
Apo pulo tu artinyo?”[5], tanya Koirul
Mereka saling bertanya menggunakan bahasa daerah masing-masing yang artinya sama.
“Terus lanjutkan Rul pendapat kamu tentang petunjuk ustadz yang dimaksud kitab Alaa laa tadi.”, suruh Faisal sambil mengacungkan jarinya.
“Kalo menurut aku Sal ya. Petunjuk ustadz itu berarti, orang yang mengaji itu harus digurukan dan tidak boleh belajar sendiri. Kamu tahu kan ilmu agama adalah warisan para nabi? Ilmu itu bukan barang hilang yang bisa dicari di kitab-kitab. Kita bisa melihat sejarah penurunan wahyu dan penyampaiannya kepada para sahabat. Betapa Nabi setiap bulan puasa menyimakkan Al-Qur’an kepada Jibril dan sebaliknya, kemudian Nabi menyampaikan kepada para sahabat,sahabat menyampaikan kepada para Tabi’in, lalu para Tabi’in menyampaikan pada Tabi’i At-tabi’in dan seterusnya kepada ulama salaf, lalu ulama Kholaf, lalu ulama Mutaqoddimin lalu ulama Muta’akhirin dan seterusnya sampai pada umat sekarang ini. Jadi, ilmu yang kita terima sekarang ini adalah ilmu yang bersambung sampai Nabi dan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi sangat jelas sekali bahwa orang yang belajar harus lewat bimbingan seorang guru.”
“Sebentar Rul. Sekarang kan zaman sudah modern, internet juga sudah pesat dan memasyarakat, bahkan itu sudah menjadi kebutuhan primer. Waktu aku pulang kemaren Rul, seorang tetanggaku melarang anaknya ikut pengajian rutin setiap hari Sabtu. Dia bilang, “Buat apa ikut pengajian, toh Internet di rumah lebih pintar dari yang mengisi ngaji”. Nah itu bagaimana Rul pendapat kamu? Apakah ilmu yang didapat dari Internet itu menyambung sanad ilmunya pada Rosululloh? Terus, apakah yang seperti ini termasuk sesat lagi menyesatkan? Kira-kira bagaimana Rul? Bisa nggak umpama kita mengambil hukum itu dari sebuah artikel di internet?”, Faisal bertanya sembari membenarkan posisi duduknya.
“Waaah keren itu Sal. Itu belajar agamanya tentang apa dulu?”, tanya Khoirul yang menambah mantap untuk berdiskusi.
“Aku ya Ndak tau Rul. Yang aku dengar Cuma itu aja.”
“Hmm gitu ya, setahu aku ya Sal. Orang belajar itu dengan 3 cara, yaitu dengan cara mendengar, melihat, dan dengan cara melihat dan mendengar. Cara gampangnya begitulah, ini bukan berarti aku menggampangkan metode Sal.”
“Ya.. lanjut !”, jawab Faisal dengan ekspresi yang sangat serius menatap Khoirul.
“Kalo kasusnya yang kau sampaikan begitu, aku belum berani menjawabnya Sal. Hehehehe.”
Asem koe.[6], kesuh[7] Faisal yang tak mendapatkan jawaban setelah memperhatikan dengan serius.
“Hahahaha. Maaf Sal.. Kata Nabi kita kan kalau kita tidak tahu apa-apa lebih baik diam jangan menjawab. Apalagi ini tentang hukum Islam Sal. Apa kau mau aku dilaknat Allah karena jawabanku yang tak mempunyai dasar?”, jawab Khoirul tertawa.
“Huh… tapi benar juga kamu Rul. Memang lebih baik diam kalau tak tahu apa-apa. Nah, terus, menurut kamu lama dalam bait pertama Alaa laa itu apa?”
Khoirul yang tertawa kecil tadi mulai berhenti, “Menurut aku Sal. Lama itu  artinya orang belajar perlu waktu yang lama. Lama di sini bukan berarti tanpa target, orang belajar itu kan harus punya target Sal. Tanpa target, semua akan hampa dan malaslah kita belajar. Dan ingat Sal! Kita yang merencanakan, Allah lah yang menentukan.”
“Hahahahaha. Benar juga kamu Rul. Satu pesan Rul buat kamu, mengutip dari nyanyiannya Iwan Fals, “Jika kata tak lagi bermakna lebih baik diam saja”, hahaha”
“Ah.. macam mano pulo kau nih[8]. Itu hampir samalah dengan ‘Fal Yaqul Khoiron Auw Liyasmut’. Ayo Sal kita makan, sudah lapar perutku nih.”
“Hahaha, ayo. Salin baju dulu tapi ya !”
Malam pun memberi angin segar untuk pembacanya. Rembulan di atas tersenyum dari balik kelambu tipis awan abu-abu. Begitu indah bisik jangkrik yang menemani gelap dengan gemericik air dari kolam seberang kamar Khoirul dan Faisal. Sajadah malam telah dibentang bersama permadani gemintang.

MD,
Franssas, 31012013


[1] Saja.
[2] Satu ini.
[3] Gaya juga kamu pakai bahasa melayu itu
[4] Apa itu artinya?
[5] Apa juga itu artinya?
[6] Sialan kamu
[7] Jengkel
[8] Bagaimana pula kamu ini?

2 comments: