Saturday, 24 November 2012

Sajak Orang Gila




            “Ku nyanyikan sebuah lagu tentang hujan untuk mu”, sapanya lirih pada sebuah foto.
            Walau hanya sebuah foto kecil ukuran dompet tapi selalu saja menjadi sebuah obrolan panjang antara dia dan foto itu, seolah-olah itu adalah “dia” dalam foto itu. Waktu yang berjalan pelan bersenandung lagu kerinduan antara hatinya dengan gambar dalam foto itu. Selalu dan selalu pengulangan kata gambar dalam foto itu.
            “Kau tau...? hujan sore ini menyadarkanku akan pentingnya hadirmu dalam setiap detikku, aku tak tau harus bagaimana mengatakannya pada mu? Kau selalu diam ketika aku tanya tentang dirimu? Tentang keberadaan mu? Tentang hatimu saat ini?”, sapanya lagi terhadap gambar dalam foto itu. Matanya tertancap dalam memandang, sebantar ia menangis, alih-alih ia tersenyum tertawa geli, terkadang ia marah dan memaki. Timbul pertanyaan bagi setiap mata yang memandangnya.
Orang-orang di kampung sering memanggilnya dengan sebutan orang gila, berbeda dengan pendatang baru. Mereka memanggilnya  seorang sastrawan yang pandai dengan kata-kata puitis. Terasa aneh tapi sangat memberi inspirasi bagi jiwa-jiwa seni. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya seperti sajak cinta berpuitis dalam setiap bait, lakunya menggambarkan  penjiwaan yang sangat dalam. Mungkin ini hanya perbedaan sudut pandang. Orang gila disebut sastrawan, dan sastrawan disebut orang gila, dan mungkin ada kemiripan tertentu dalam hal ini.
Hujan sore di kampung semakin lebat dengan iringan nyanyian petir, begitu syahdu bagi hati yang merindu, entah merindu seorang kekasih atau merindu pada belas kasih Tuhan.
{<<<>>>}

“Dari bilik kelopak mata aku menatap
Samar merindu ku lihat parasmu
Serabut awan kelam perlahan berjalan membias wajahmu
Tak seperti hari-hari dulu saat kau cerah tertawa
Pucat kau suguh hari ini….
Sama bias dengan daging gumpal ku…
Yang merasa aku ada…
Jendela kenangan, 280510”[1]

“Kau selalu tersenyum dari balik kerudung merah itu, tapi tak pernah kau berkata sedikitpun lewat dua bibir tipis itu, aku semakin gila dengan kebisuan mu, akan ku mulai darimana lagi percakapan kita? Mengapa harus aku yang selalu memulai kata?”, ia tertunduk lesu menahan air mata menggelang kepala.
“Apa karena kau hanya sebuah foto lantas kau diam? Apa karena kau sebuah masalalu lantas kau bisu? Apa karena karena kau sudah mati lantas kau menjadi benda mati? Kau selalu hidup dalam hati ini, walau kau telah pergi, hadirmu masih terasa di hati. Mohon jangan diam! Aku tak mau sendiri, aku mengemis pada mu.”, air matanya tumpah deras membanjiri kedua pipi, sesekali mengisak tertahan, tetap saja tak dapat menahan air mata meski beberapa kali diusap.
Malam merangkak naik setelah senja menangis dengan iringan petir, dan gelap ini masih tersisa tetesan air hujan dari dedaun pohon, atap rumah, menyisakan genangan air membuat becek jalan kampung. Iringan kabut putih perlahan berjalan dari pandangan mata menyelinap pelan di antara kelam. Di seberang sana tampak beberapa pohon tumbang menyelam di atas sungai yang masih agak banjir, mungkin bekas sambaran petir tadi sore, terlihat patahannya sedikit hangus dan retak tak karuan.
Sebuah rumah dari dua rumah di samping kiri surau tampak roboh tak kuat melawan hujan sore tadi, obor-obor kecil menerangi di sekelilingnya dan terlihat gerakan lima orang sedang memberesi runtuhan berterangkan cahaya obor. Suara jangkrik menjadi .lagu mereka tanda kepedulian dalam menemani malam, walau hanya dengan sebuah kata yang selalu diulang, mungkin cukup menghibur daripada sepi menemani di tengah kesedihan.
“Anjasmoro ari marmi...
Mas mirah kulaka warta
Dasih mu tan wurung layon anging kutha Probolinggo
Prang tanding lan wuru Bisma
Kariyo mukti wong ayu
Pun kakang pamit palastro”
           
            Suara pelan terdengar merdu dari arah pondok pinggir sawah, lirih terasa tua bagi telinga yang menangkap, sebuah nyanyian syahdu untuk Dewi Anjasmara yang dipamiti suaminya berperang melawan Bisma ke kota Probolinggo dan siap mati. Sangat lirih dengan sedikit isak Mbah Tua yang menembang. Penuh penghayatan memberi kesan tersendiri bagi yang mendengarkan. Beriring gemericik air  sawah dengan suara kodok dan jangkrik syahdu.
Kampung kecil bernamakan Lembah Impen dengan jumlah penduduk tak lebih dari tiga puluh keluarga, terlihat sangat tenang. Sesuai dengan namanya, kampung Lembah Impen menyimpan sejuta impian dengan berbagai kenangan, baik para pendatang yang hanya berwisata maupun orang kampung asli merasakan itu. Sebuah nama dari berbagai cerita menyatu di dalamnya. Cerita sedih, bahagia, berwisata, dan lain sebagainya, tak hanya sebuah nama sebuah cerita.
 Malam semakin larut dengan pesona kelam dan ketenangan, merangkak mendalam, perlahan menjadi semakin sunyi, sangat sunyi. Kampung Lembah Impen diselimuti kabut yang semakin tebal, di sebelah sana sebuah obor padam tertiup angin, jalan yang terang karena obor menjadi gelap tanpa cahaya. Tak ada suara tetesan air bekas hujan dari atas atap yang jatuh di genangan, hanya suara kesunyian yang melagukan dawai mimpi indah pada setiap penduduk kampung yang terlelap.
“Suara malam... datangkan ia dalam mimpiku walau hanya sesaat. Kau tak tau betapa aku merindunya dalam setiap waktu. Lewat foto kusam ini ku sampikan salam kerinduan padanya disana.”, perlahan matanya terpejam berat, pulas dalam genggaman kantuk.
Suara kodok dan jangkrik terdengar larut dalam kesunyian, sunyi mengiringi malam.
{<<<>>>}
“pagi...
dimana kau sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak datangkan dia untukku?
mengapa kau diam?
kabut...
dimana kau sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak datangkan dia untukku?
kau selalu saja hadir dengan surammu
bosan aku melihat itu.....
dingin....
dimana kau sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak datangkan dia untukku?
mengapa kau membisu?
langit...
dimana kau sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak datangkan dia untukku?
mengapa kau menangis?
                                    al-asy', 26042011”[2]

Pelan suaranya menyapa alam tentang mentari, entah bagaimana lagi ini akan diceritakan. Kala gundah tak terjaga dengan kesejukkan, pagi menangis menutup mentari dengan segala ke galauan. Dimana mentari? Dimana mentariku? Pertanyaan yang melahirkan pertanyaan, entah mentari dalam makna sesungguhnya atau mentari dalam tanda kurung.
“Dimana mentariku....?”, ia menangis kembali memandang gambar dalam foto itu. Tangisan kerinduan tentang kepergian.
“Dimana mentari......ku.......?”.........
{<<<>>>}

‘Afsyah
Fransaa Room, 02-12-2011


[1] Kumpulan puisi pribadi, Belum Ada Judul, 2010, Wonosobo.
[2] Kumpulan puisi pribadi, Belum Ada judul, 2011, Wonosobo.

No comments:

Post a Comment