“Ku nyanyikan
sebuah lagu tentang hujan untuk mu”, sapanya lirih pada sebuah foto.
Walau hanya sebuah
foto kecil ukuran dompet tapi selalu saja menjadi sebuah obrolan panjang antara
dia dan foto itu, seolah-olah itu adalah “dia” dalam foto itu. Waktu yang
berjalan pelan bersenandung lagu kerinduan antara hatinya dengan gambar dalam
foto itu. Selalu dan selalu pengulangan kata gambar dalam foto itu.
“Kau tau...? hujan
sore ini menyadarkanku akan pentingnya hadirmu dalam setiap detikku, aku tak
tau harus bagaimana mengatakannya pada mu? Kau selalu diam ketika aku tanya
tentang dirimu? Tentang keberadaan mu? Tentang hatimu saat ini?”, sapanya lagi
terhadap gambar dalam foto itu. Matanya tertancap dalam memandang, sebantar ia
menangis, alih-alih ia tersenyum tertawa geli, terkadang ia marah dan memaki.
Timbul pertanyaan bagi setiap mata yang memandangnya.
Orang-orang di kampung sering memanggilnya dengan sebutan orang
gila, berbeda dengan pendatang baru. Mereka memanggilnya seorang sastrawan yang pandai dengan kata-kata
puitis. Terasa aneh tapi sangat memberi inspirasi bagi jiwa-jiwa seni. Setiap
ucapan yang keluar dari mulutnya seperti sajak cinta berpuitis dalam setiap
bait, lakunya menggambarkan penjiwaan
yang sangat dalam. Mungkin ini hanya perbedaan sudut pandang. Orang gila
disebut sastrawan, dan sastrawan disebut orang gila, dan mungkin ada kemiripan
tertentu dalam hal ini.
Hujan sore di kampung semakin lebat dengan iringan nyanyian petir,
begitu syahdu bagi hati yang merindu, entah merindu seorang kekasih atau
merindu pada belas kasih Tuhan.
{<<<>>>}
“Dari bilik kelopak mata aku menatap
Samar merindu ku lihat parasmu
Serabut awan kelam perlahan berjalan membias wajahmu
Tak seperti hari-hari dulu saat kau cerah tertawa
Pucat kau suguh hari ini….
Sama bias dengan daging gumpal ku…
Yang merasa aku ada…
Jendela
kenangan, 280510”[1]
“Kau selalu tersenyum dari balik kerudung merah itu, tapi tak
pernah kau berkata sedikitpun lewat dua bibir tipis itu, aku semakin gila
dengan kebisuan mu, akan ku mulai darimana lagi percakapan kita? Mengapa harus
aku yang selalu memulai kata?”, ia tertunduk lesu menahan air mata menggelang
kepala.
“Apa karena kau hanya sebuah foto lantas kau diam? Apa karena kau
sebuah masalalu lantas kau bisu? Apa karena karena kau sudah mati lantas kau
menjadi benda mati? Kau selalu hidup dalam hati ini, walau kau telah pergi,
hadirmu masih terasa di hati. Mohon jangan diam! Aku tak mau sendiri, aku
mengemis pada mu.”, air matanya tumpah deras membanjiri kedua pipi, sesekali
mengisak tertahan, tetap saja tak dapat menahan air mata meski beberapa kali
diusap.
Malam merangkak naik setelah senja menangis dengan iringan petir,
dan gelap ini masih tersisa tetesan air hujan dari dedaun pohon, atap rumah,
menyisakan genangan air membuat becek jalan kampung. Iringan kabut putih
perlahan berjalan dari pandangan mata menyelinap pelan di antara kelam. Di
seberang sana tampak beberapa pohon tumbang menyelam di atas sungai yang masih
agak banjir, mungkin bekas sambaran petir tadi sore, terlihat patahannya
sedikit hangus dan retak tak karuan.
Sebuah rumah dari dua rumah di samping kiri surau tampak roboh tak
kuat melawan hujan sore tadi, obor-obor kecil menerangi di sekelilingnya dan
terlihat gerakan lima orang sedang memberesi runtuhan berterangkan cahaya obor.
Suara jangkrik menjadi .lagu mereka tanda kepedulian dalam menemani malam,
walau hanya dengan sebuah kata yang selalu diulang, mungkin cukup menghibur
daripada sepi menemani di tengah kesedihan.
“Anjasmoro ari
marmi...
Mas mirah
kulaka warta
Dasih mu tan
wurung layon anging kutha Probolinggo
Prang tanding
lan wuru Bisma
Kariyo mukti
wong ayu
Pun kakang
pamit palastro”
Suara pelan
terdengar merdu dari arah pondok pinggir sawah, lirih terasa tua bagi telinga
yang menangkap, sebuah nyanyian syahdu untuk Dewi Anjasmara yang dipamiti
suaminya berperang melawan Bisma ke kota Probolinggo dan siap mati. Sangat
lirih dengan sedikit isak Mbah Tua yang menembang. Penuh penghayatan memberi
kesan tersendiri bagi yang mendengarkan. Beriring gemericik air sawah dengan suara kodok dan jangkrik syahdu.
Kampung kecil bernamakan Lembah Impen dengan jumlah penduduk tak
lebih dari tiga puluh keluarga, terlihat sangat tenang. Sesuai dengan namanya,
kampung Lembah Impen menyimpan sejuta impian dengan berbagai kenangan, baik
para pendatang yang hanya berwisata maupun orang kampung asli merasakan itu.
Sebuah nama dari berbagai cerita menyatu di dalamnya. Cerita sedih, bahagia,
berwisata, dan lain sebagainya, tak hanya sebuah nama sebuah cerita.
Malam semakin larut dengan
pesona kelam dan ketenangan, merangkak mendalam, perlahan menjadi semakin
sunyi, sangat sunyi. Kampung Lembah Impen diselimuti kabut yang semakin tebal,
di sebelah sana sebuah obor padam tertiup angin, jalan yang terang karena obor
menjadi gelap tanpa cahaya. Tak ada suara tetesan air bekas hujan dari atas
atap yang jatuh di genangan, hanya suara kesunyian yang melagukan dawai mimpi
indah pada setiap penduduk kampung yang terlelap.
“Suara malam... datangkan ia dalam mimpiku walau hanya sesaat. Kau
tak tau betapa aku merindunya dalam setiap waktu. Lewat foto kusam ini ku
sampikan salam kerinduan padanya disana.”, perlahan matanya terpejam berat,
pulas dalam genggaman kantuk.
Suara kodok dan jangkrik terdengar larut dalam kesunyian, sunyi
mengiringi malam.
{<<<>>>}
“pagi...
dimana kau
sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak
datangkan dia untukku?
mengapa kau
diam?
kabut...
dimana kau
sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak
datangkan dia untukku?
kau selalu saja
hadir dengan surammu
bosan aku
melihat itu.....
dingin....
dimana kau
sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak
datangkan dia untukku?
mengapa kau
membisu?
langit...
dimana kau
sembunyikan mentariku?
mengapa kau tak
datangkan dia untukku?
mengapa kau
menangis?
al-asy',
26042011”[2]
Pelan suaranya menyapa alam tentang mentari, entah bagaimana lagi
ini akan diceritakan. Kala gundah tak terjaga dengan kesejukkan, pagi menangis
menutup mentari dengan segala ke galauan. Dimana mentari? Dimana mentariku?
Pertanyaan yang melahirkan pertanyaan, entah mentari dalam makna sesungguhnya
atau mentari dalam tanda kurung.
“Dimana mentariku....?”, ia menangis kembali memandang gambar dalam
foto itu. Tangisan kerinduan tentang kepergian.
“Dimana mentari......ku.......?”.........
{<<<>>>}
‘Afsyah
Fransaa Room,
02-12-2011
No comments:
Post a Comment