Di luar sana,
gerombolan anak seusia adikku yang berumur tujuh tahun, berjalan melintasi
sawah yang masih tampak hijau dengan pesona padinya. Kawanan burung pipit yang
ada di antara sawah-sawah hijau pun mengisahkan pemandangan delapan tahun silam
tentang indahnya pesona alam desaku di pulau seberang.
Aku ingin bertanya tentang bagaimana kabar alam desaku yang katanya
sudah berubah sejak kepergianku. Aku ingin menanyakan tentang lapangan yang
dulu tempat kami bermain bersama melepas tawa. Aku ingin melihat wajah-wajah
teman lamaku yang katanya sekarang sudah tak tahu bagaimana?
Salahkah jika aku bertanya, “Kebijakkan sekarang sudah tak ada
artinya di mata kaum yang ditindas?”.
Salahkah jika aku berkata, “Sudah tidak ada tempat untuk orang
miskin di dunia ini.”
Di ujung sana ada yang berteriak dengan lantangnya, “Kita orang
butuh kebijakkan pemerintah. Bukan penindasaan.”
Di ujung lainnya meratap, “Hidup saja sudah susah, bagaimana mau
punya rumah mewah? Bisa makan saja sudah untung.”
Lalu hatiku berkata lirih, “Adakah mimpi harus dijajah kekuasaan?
Adakah kebahagiaan bisa digilas oleh kekuasaan? Adakah air mata bisa
menghancurkan kekuasaan? Adakah meratap dalam penderitaaan akan berdampak
perubahan?” Jika saja aku punya banyak uang. Aku ingin membeli mimpi manusia
untuk ku wujudkan dalam pandangan mata. Tapi mimpi bukan hal yang berfinansial.
Di luar sana, gerombolan anak-anak yang seusia adikkku sudah tak
terpandang mata. Burung pipit yang tadi asyik bercengkrama diantara daun padi
suda pergi. Aku menghela nafas pelan.
“Huufffhh……”
Kamis,
1110’12
No comments:
Post a Comment