Friday, 16 November 2012

Gerombolan Anak



            Di luar sana, gerombolan anak seusia adikku yang berumur tujuh tahun, berjalan melintasi sawah yang masih tampak hijau dengan pesona padinya. Kawanan burung pipit yang ada di antara sawah-sawah hijau pun mengisahkan pemandangan delapan tahun silam tentang indahnya pesona alam desaku di pulau seberang.
Aku ingin bertanya tentang bagaimana kabar alam desaku yang katanya sudah berubah sejak kepergianku. Aku ingin menanyakan tentang lapangan yang dulu tempat kami bermain bersama melepas tawa. Aku ingin melihat wajah-wajah teman lamaku yang katanya sekarang sudah tak tahu bagaimana?
Salahkah jika aku bertanya, “Kebijakkan sekarang sudah tak ada artinya di mata kaum yang ditindas?”.
Salahkah jika aku berkata, “Sudah tidak ada tempat untuk orang miskin di dunia ini.”
Di ujung sana ada yang berteriak dengan lantangnya, “Kita orang butuh kebijakkan pemerintah. Bukan penindasaan.”
Di ujung lainnya meratap, “Hidup saja sudah susah, bagaimana mau punya rumah mewah? Bisa makan saja sudah untung.”
Lalu hatiku berkata lirih, “Adakah mimpi harus dijajah kekuasaan? Adakah kebahagiaan bisa digilas oleh kekuasaan? Adakah air mata bisa menghancurkan kekuasaan? Adakah meratap dalam penderitaaan akan berdampak perubahan?” Jika saja aku punya banyak uang. Aku ingin membeli mimpi manusia untuk ku wujudkan dalam pandangan mata. Tapi mimpi bukan hal yang berfinansial.
Di luar sana, gerombolan anak-anak yang seusia adikkku sudah tak terpandang mata. Burung pipit yang tadi asyik bercengkrama diantara daun padi suda pergi. Aku menghela nafas pelan.
“Huufffhh……”

Kamis, 1110’12

No comments:

Post a Comment