Ada
satu alasan yang membuatku tetap mempertahankan cinta. Ada seribu alasan untuk
ku tetap menepikan rasa. Di balik pandangan mata selalu ada hati yang
menginginkan. Di antara jeda ada sesuatu yang tertunda.
Aku
ingin berbicara tentang hujan yang sedari pagi enggan menerbitkan mentari walau
secuil sinar yang mencoba mengintip dari bekas bolongan paku di atap rumah.
Sajak-sajak becek yang dilahirkannya di badan tanah masih menyisakan bau cerita
tentang kenangan. Ya… hujan selalu mengingatkan kenangan.
Dalam
hari-hari kami, kabut tipis atau tebal yang melayang menyelimuti mata itu
adalah hal biasa. Hujan pun datang juga biasa.
Hadir
membawa tawa dan tangis pada manusia, pergi pun membawa tawa dan tangis pada
manusia. Tidak sedikit dari mereka yang mencela kedatangan hujan dengan
membandingkan mentari. Pun tidak juga banyak yang menginginkan kehadiran hujan
untuk kehidupan.
Hujan
adalah lagu dan tarian alam. Bukan tangisan langit atau proses jatuhnya air
yang menguap dari bumi. Aku mengatakan lagu dan tarian sebab aku menyukai
sya’ir-syair hujan yang datang dengan suara berbeda dari kalangan makhluk.
Satu
senyum untuk manusia yang mencela hujan, satu senyum untuk manusia yang
mengindahkan hujan. Tak ku lontarkan amarah pada setiap manusia yang pada
dasarnya mereka adalah makhluk yang berfikir.
Di
sudut sana kubangan air setinggi mata kaki diinjak oleh kawanan anak kecil yang
tertawa. Di sepanjang jalan, kubangan air diarungi pelan oleh mereka yang
berkendara roda dua. Roda empat melaju kencang tanpa merasa basah tubuh di
dalamnya.
Ada
jutaan alasan mengapa aku menikmati hujan dan kenangan. Ada sejuta alasan
mengapa aku mencintai hujan.
Ada
milyaran alasan jika aku ingin beralasan.
Wonosobo, 191112
No comments:
Post a Comment