Monday 28 January 2013

Sudrun Ikutan X Factor Indonesia




Sudrun nggegeri untuk ikut audisi X factor Indonesia, setelah meyaksikan peserta-peserta audisi yang suaranya ngeclep banget. Hari ini juga dia ngajak saya mbolang ke Jakarta, hanya berbekal uang duapuluh ribu, hasil kerja serabutan. Sialnya kantong saya juga lagi kering, cuma ada uang lima ribuan yang sudah lecek. Tapi bukan arek suroboyo namanya kalau nggak nekat. Dengan uang pas-pasan
dan tak lupa bismillah, kami berangkat ke Jakarta. Lewat jalur gelap tentunya. Atap kereta.

Sebenarnya saya agak terkejut juga waktu Sudrun ngajakin buat ikutan audisi X Factor Indonesia, habis waktu awal-awal acara ini dibuat dia sudah ngedumel nggak karuan “bisa bikin acara sendiri nggak sih, masak tiap luar negeri   buat acara, eh kita langsung  ikut-ikutan buat. Dasar mental bebek!” Masih menurut Sudrun, juri-jurinya tidak kompitabel, komen-komennya nggak mutu. Yayaya, Sudrun memang orang yang nggak bisa ditebak. Hari ini dia baik  banget, besok bisa sebaliknya, ngeselin banget. Hari ini suka sama sesuatu, besok udah maki-maki sesuatu yang kemarin ia suka itu. Terus terang saya nggak begitu peduli, apa alasan Sudrun balik kucing jadi pingin ikutan audisi. Sengaja nggak saya tanyakan, saya sudah tahu seperti apa jawabannya “udah, nggak usah banyak nanya”.  Oh satu lagi, ini hal yang paling penting yang seharusnya saya tanyakan kepadanya sebelum berangkat ke Jakarta, dia bisa nyanyi nggak? Hmm, belum pernah saya lihat Sudrun menyanyi.

***

Kereta melaju dengan takaran normalnya. Perjalanan kami sudah separuh jalan. Langit mendung diatas selalu menjadi favorit kami ketika mbolang gelap seperti ini.

“Din, kamu tahu alasan saya ingin ikutan audisi kan?” Eh, sadar juga nih orang, kalau dari tadi saya nahan penasaran.

“Nggak!”

“Karena Cinta” Ia berkata dengan cengengesan.

Jancuk! Maksudnya?”

“Nanti aja jelasinnya. Hehehe…”

“…………………………………………..”

Akhirnya kami sampai di Jakarta, setelah tanya sana-sini, kami sampai juga di lokasi. Sudrun langsung daftar dan saya tidak, setelah itu kami harus antre berjam-jam. Uang kami masih utuh, hebat bukan? Sekarang waktunya ngasih makan naga di perut yang sudah teriak2 dari tadi.

Tiba juga waktunya, Sudrun dipanggil buat naik panggung, dengan langkah penuh keyakinan ia berjalan menuju panggung, masih sambil cengengesan ia menatapku, lalu mengacungkan jempol kepadaku, persis seperti  naruto. Ia sudah berada dipanggung, diam, tidak ada kata sapaan. Para Juri pun sama. Mata para penonton memperlihatkan ketidaksenangan.

“Namanya siapa mas?” akhirnya suara Mas Dhoni memecah suasana yang sudah membeku beberapa detik.

“Sudrun, dari Surabaya mas!”

“Yakin nih mau ikutan audisi?” Mbak Rossi yang sekarang berjilbab, bertanya dengan nada yang aneh, entah maksudnya apa. Dan seperti biasa, Sudrun cuma cengengesan. Sementara satu juri lagi, Mas Bebe, cuma diam saja sambil matanya melotot. Entah benar-benar melotot atau tidak, barangkali cuma perasaanku saja.

Saya kira Sudrun akan langsung diminta menyanyi, eh Mas Dhoni bertanya lagi kepadanya.
“Motivasinya apa mas kok pingin ikutan audisi?”

Sudrun clingak-clinguk, sepertinya dia bingung. Mas Dhoni kemudian bertanya lagi.

“Mas Sudrun  nggak paham kata-kata saya?” Sudrun menggeleng. Penonton tertawa mengejek, juga mas-mas tinggi di sebelahku yang berusaha menahan tawanya. Ya, mas-mas pembawa acara ini berusaha menjaga perasaan seorang teman yang temannya sedang ditertawakan. Mas Bebe yang dari tadi diam langsung nyahut.

“Motivasi aja nggak paham kok mau ikutan audisi, jangan2 nggak paham juga, apa itu audisi”. Sekali lagi, penonton tertawa. Kali ini lebih terbahak.

Wajah Sudrun yang dari tadi cengengesan berubah serius, membuat penonton diam, kemudian dengan serak ia berkata .

“Saya ikutan audisi ini bukan karena apa-apa. Saya ikut karena saya cinta sama Indonesia, saya bangga bisa menjadi bagian dari Indonesia.”

Para juri dan penonton mengeryitkan dahi mereka masing-masing, sama halnya denganku.

“Saya sebenarnya muak dengan acara-acara tiruan macam ini. Kita ini kok seperti nggak punya kreatipitas saja” medoknya Sudrun mulai keliatan.

Saya nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang ada di studio diam. Khusuk, seperti pertapa yang sudah ratusan tahun bertapa. Tapi kemudian Mas Dhoni berkata dengan gayanya yang tengil .

“Udah pidatonya? Langsung nyanyi aja deh, mau nyanyi lagu apa?”

“Hotel California dari Eagles!!!” jawab Sudrun mantab. Aku terkaget-kaget mendengarnya. Motivasi aja nggak ngerti artinya, eh dia malah mau nyanyi lagu bahasa inggris lagi. Oh ya, saya lupa bilang kalau Sudrun juga bawa gitar akustik, katanya sih warisan neneknya.

“Serius” lagi-lagi Mbak Rossi bertanya dengan nada aneh. Penonton pun bersiap menertawakan manusia bernama Sudrun ini.

“Yuk mari…” Mas Dhoni langsung menyela.

Lampu panggung meredup ketika sudrun mulai memetik senar gitarnya. Sekali lagi, Sudrun membuatku terkejut. Petikan gitarnya bener-bener sempurna. Saya seperti mendengar petikan Joe Walsh digabung dengan sentuhan Eric Clapton serta power dari Slash. Ini dia saat yang ditunggu-tunggu, intro sudah hampir selesai dan…

“On a dark desert highway, cool wind in my hair
Warm smell of colitas, rising up through the air
Up ahead in the distance, I saw a shimmering light
My head grew heavy and my sight grew dim…”

Jancukkkkkkkkkkk!!! Keren. Bener-bener nggak nyangka.

“Welcome to the Hotel California
Such a lovely place (Such a lovely place)
Such a lovely face
Plenty of room at the Hotel California
Any time of year (Any time of year)
You can find it here…”

Para penonton terhanyut penampilan “mejik”nya Sudrun, tanpa sadar mereka ikut bernyanyi. Mas Dhoni senyam-senyum. Mbak Rosi? saya tak bisa menggambarkan seperti apa ekspresinya, dia terlihat seperti langsung ingin eek setelah menyaksikan penampilan Sudrun, saking nggak nyangkanya. Mas Bebe? Just so so. Biasa-biasa wae, tapi keterkejutannya tak bisa di sembunyikan.

“Jrenggg…” Hotel California pun berakhir dengan petikan lembut dari Sudrun. Riuh tepuk tangan penonton memenuhi studio. Anehnya, Sudrun sama sekali nggak terpengaruh sama suasana, wajahnya masih sama seperti sebelum ia menyanyi. Serius.

“Well… saya nggak…”

“Nggak usah basa-basi deh mas, mbak juri” Mas Bebe yang sepertinya mau komentar langsung dipotong oleh Sudrun.

“Dari awal saya sudah tau dari wajah-wajah sampean kalau sampean ngeremehno. Saya ikutan audisi nggak ada niatan buat jadi artis kok, kalaupun sampean ngelolosno saya itu kan karena kesan sesaat saja. Saya tahu, wajah saya ini nggak marketebel, sedangkan sekarang yang disukai orang kan yang wajahnya ganteng-ganteng dan cantik-cantik, orang seperti saya ini mana laku di dunia hiburan”.

Mulut Sudrun seperti silet yang nggak kuat ngebendung eek. Brol. Saya juga baru menyadari penampilannya malam ini. Betul, ia sama sekali nggak cocok untuk dijual di tivi. Celana jeans yang sudah sobek sana-sini, kaos hitam polos yang lusuh, serta rambut gondrong yang nggak pernah di keramasi, kecuali kalau rumahnya kebanjiran. Dari segi fisik pun begitu, mungkin kaki pincang Sudrun bisa sedikit dijadikan “drama” untuk menaikkan rating, tapi wajahnya yang selalu terlihat menjengkelkan dengan salah satu sudut mulutnya yang selalu mengeluarkan air liur barangkali akan membuat juri berfikir dua kali untuk meloloskannya, meskipun ia mempunyai bakat istimewa dalam menyanyi. Kalau toh pun ia lolos, petualangannya di dunia hiburan takkan lama.

“Manusia sekarang ini terlalu mengagung-agungkan wadak, mereka selalu menilai apapun dari luarnya saja. Mereka mudah meremahkan sesuatu yang mereka lihat “nggak bagus” dengan bola matanya. Mereka tidak bisa melihat lebih dalam kepada sesuatu. Rohani mereka sakit.”

“Heh” Mas Dhoni mencoba menyela Sudrun.

“………………………………………………………………….”

Tiba-tiba mikropon mati, lampu panggung padam. Suara Sudrun menghilang. Para juri dan penonton sudah tidak ada ditempat, semua terjadi begitu cepat. Sementara wartawan dari berbagai media massa bergegas menghampiri Sudrun. Tapi percuma, Sudrun sudah tidak bicara lagi. Ia ngeloyor pergi, tanpa memerhatikan para wartawan yang sibuk meliputnya. Aku berlari menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa dia menarik tanganku. Keluar dari Studio.

***

Diatas kereta menuju Surabaya, kami berbincang kecil mengenai masalah kemarin malam.

“Drun, saya nggak nyangka kamu bisa bernyanyi sekeren itu. Sebenarnya kamu bisa lolos kalau nggak usah pakai acara ceramah segala. Lagian kamu aneh-aneh aja sih.

“Goblok kamu, tak kira kamu sudah tahu kalau aku lipsing, Mas-mas yang tugasnya nyalain musik itu sudah tak kasih samsu satu pak. Tak suruh ngeplai musik yang ada lagunya.”

Asssu, kok bisa begitu? Trus kamu ngasihnya kapan, aku kok gak ruh?” Sekali lagi, orang bernama Sudrun ini membuatku terkejut, aku ingin sekali mengencingi wajahnya.

“Pas kamu ke ponten tadi.  Saya guyon sama dia, eh nggak taunya dia dulu Bonek, tinggal di daerah Tambaksari situ sebelum pindah ke Jakarta. Jadi beres deh urusannya. Lagian apa nggak pada merhatiin ya, kalau gitarku ini sinarnya cuma satu. Hahahaha” Bener-bener bikin orang ilfil.

“Oh, mbokne ancuk ancene, tapi kok bisa pas gitu Drun?

“Kalau itu rahasia rek!” Cengengesan lagi.

***

Perbincangan kami berakhir di Stasiun Gubeng. Kami turun, lalu berpisah. Waktu mau berangkat ke Jakarta Sudrun pernah bilang bahwa alasannya ikut audisi adalah “cinta”. Akhirnya ia menjelaskan maksudnya waktu perjalanan pulang. Katanya, ia benci ketika manusia memandang manusia lainnya dengan pandangan meremehkan dan merendahkan. Apalagi meyinggung soal kekurangan fisik. Ia ingin para juri sadar bahwa posisi sebagai juri tidak berarti mereka berhak mengobok-obok sisi kemanusian mereka-mereka yang “gagal” dalam pandangan para juri. *Ironisnya (*Sudrun sangat kesulitan mengatakan ini) kegagalan mereka-mereka ini justru dijadikan bahan tertawaan.

Manusia Indonesia mempunyai daya tahan yang “aneh”. Mereka yang ditertawakan nggakmangkel. Mereka  yang menertawakan nggak ngerasa kalau perbuatan mereka telah meruntuhkan sisi kemanusian mereka. Entah ini sesusatu yang mengemberikan atau menyedihkan. Kita jangan  melihat seseorang dari sudut pandang yang lain kecuali kemanusian, niscaya kita tidak akan pernah meremehkan dan merendahkan seseorang.

Yah, namanya juga ajang cari bakat, pastilah akan menyisihkan sebagian orang-orang “gagal” untuk meyebut sebagian yang lainnya berbakat. Soal bakat menyai orang Indonesia. Tanpa sedikitpun keraguan, kitalah yang nomor satu. Pengamen-pengamen di bis kota lancar meyanyikan “Wind of Change”nya Scorpions. Anak-anak SD sudah bisangeplek sama Suju. Coba sekarang cari penyayi barat yang bisa menyayikan lagunya Dewa 19 -misalnya- tapi enak untuk didengar, atau “Stasiun Balapan”nya Didi Kempot. 1000% yakin nggak ada yang bisa. Lidah orang Indonesia ini istimewa, mereka bisa mereka bisa menyanyikan lagu dengan lirik bahasa inggris, mandarin, korea, jepang dll, tanpa tahu apa artinya. Namun jika kembali ke masalah kreativitas, kita miskin. Sebenarnya sih nggak miskin-miskin amat, cuman mental kita aja yang sudah terlalu ndlosor untuk percaya pada kemampuan sendiri.

“Dinnnnnnnnnnnnnnnn….”

“Lho, Drun?”

“Sini uang duapuluh ribu ku!”

“Raimu lak ambek duwe ae gak isok lali”

“Hehehehe”.

*nggegeri - tergesa-gesa mengajak
gak ruh - nggak tahu
mbolang - berpetualang
kreatipitas - kreatifitas
ngeremehno - meremahkan
ngelolosno - meloloskan
marketebel - marketable (menjual)
silet - dubur
wadak - kulit, bungkus, wadah
samsu - rokok merek dji sam soe
ponten - toilet
guyon - bergurau
mangkel - dongkol, marah
ngeplek - persis
ndlosor - jatuh
“raimu lak ambek duwe ae gak isok lali” - “mukamu, kalau sama uang aja nggak bisa lupa”

karya Mas Syafiq
 27 January 2013 | 09:07

2 comments: